Ekonom Ragu Trump Sukses Terapkan Proteksionisme

Presiden AS Donald Trump memberi hormat saat parade pelantikan.
Sumber :
  • Reuters/Carlos Barria

VIVA.co.id – Sikap proteksionisme Presiden Amerika Serikat Donald Trump di era seperti saat ini dinilai sulit diterapkan di berbagai negara. Sebagai negara adi daya, AS dipandang masih membutuhkan sumbangsih dari negara lain.

Donald Trump dan Kedua Anaknya Akan Diperiksa Terkait Penipuan

“Patut dicatat, agak sulit menerapkan secara praktis kebijakan proteksionisme sekarang,” ungkap Ekonom PT Bank Central Asia David Sumual saat berbincang dengan VIVA.co.id, Selasa 24 Januari 2017.

David mengatakan, meskipun Trump telah meneken surat perintah pengunduran diri AS dari Trans Pasific Partnership (TPP), bukan perkara mudah bagi AS untuk membatalkan perjanjian perdagangan bilateral lainnya dengan negara-negara lain.

Donald Trump Ambil Surat Cinta Kim Jong Un dari Gedung Putih

Misalnya saja, seperti rencana Presiden AS, yang bakal merenegoisasi perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). Apabila negoisasi tersebut tidak berjalan lancar, mustahil bagi AS untuk menarik diri dari blok perdagangan Amerika Latin tersebut.

“Ada yang namanya faktor internal, dan legalitas. Kalau dibatalkan juga, secara legal AS bisa kena sanksi berat. Ini bukan persoalan mudah,” katanya.

5 Fakta Tewasnya Jenderal Qassem Soleimani, Iran Akan Balas Dendam?

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok

David memandang, akan sulit bagi Trump bersikap proteksionisme, terutama terhadap negara-negara sekelas Tiongkok. Terlebih, hubungan antar kedua negara sejatinya lebih dari sekedar perjanjian perdagangan.

“Tiongkok pemegang surat utang terbesar di AS. Kalau mereka proteksionis, bisa-bisa ditarik semua. Tiongkok juga bisa saja menolak keberadaan AS,” ujarnya.

Hal sama turut diungkapkan Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede. Menurutnya, meskipun Trump berencana kembali mengundang para raksasa teknologi kembali ke AS, namun tidak ada jaminan AS akan bersikap skeptis terhadap kebijakan perdagangannya.

“Memang AS dikenal dengan inovasi dan teknologinya. Tapi yang berkaitan dengan keterampilan khusus itu belum. Ujung-ujungnya bisa saja impor,” katanya.

Efek ke Indonesia

Sejauh ini, sikap proteksionis Trump hanya tertuju kepada negara seperti Tiongkok dan Amerika Latin. Menurut Josua, ini bisa dijadikan peluang bagi Indonesia, untuk memanfaatkan kondisi tersebut dengan memperluas pangsa pasar ekspor, selain komoditas.

“Ini bisa jadi keuntungan AS membatasi perdagangan dengan Tiongkok. Kita bisa membuka jalur perdagangan baru karena kita masih potensial. Ada alas kaki, tekstil. Ini menjadi primadona,” ujarnya.

Kendati demikian, David memandang, Indonesia dapat terkena imbas secara tidak langsung, apabila sikap proteksionisme tersebut terus dilakukan dengan Tiongkok. Sebab, akan ada perubahan dalam struktur perdagangan internasional.

“Itu belum menjadi ancaman. Meskipun dia (AS) menarik diri (dari TPP), tetapi kalau dia berikan tarif tinggi untuk China, Jepang, Korea, bisa menganggu perdagangan global,” ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pangsa pasar ekspor non minyak dan gas terbesar Indonesia masih didominasi oleh AS dan Tiongkok. Pada Desember tahun lalu, ekspor non migas ke negeri Tirai Bambu tersebut mencapai US$15,10 miliar.

Sementara ekspor non migas ke AS, mencapai US$15,68 miliar atau 11,94 persen dari total ekspor nasional. Selain itu, nilai ekspor Indonesia kepada Jepang hingga Desember tahun lalu mencapai US$13,21 miliar. Sedangkan untuk ASEAN dan Uni Eropa, masing-masing mencapai US$28,78 miliar dan US$14,41 miliar.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya