Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno

Saya Yakin 100 Persen Presiden Netral

Sandiaga Uno.
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id – Sandiaga Salahudin Uno, atau dikenal dengan Sandiaga Uno adalah salah satu pengusaha sukses di Indonesia. Selama kiprahnya di dunia usaha itu, Sandiaga tercatat aktif di organisasi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia.

Isu Kaesang Maju Pilgub DKI, Demokrat Masih Lihat-lihat

Tokoh kelahiran Pekanbaru, 28 Juni 1969 ini, mulai masuk dalam dunia politik dengan bergabung dengan Partai Gerindra pada awal 2015. Di partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto itu, ia langsung dipercaya sebagai salah satu Wakil Ketua Dewan Pembina.

Beberapa waktu setelah itu, nama Sandiaga muncul sebagai salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta. Ia juga terlihat rajin turun ke masyarakat di Ibu Kota untuk sosialisasi.

Gerindra Tak Ngotot Usung Kader Sendiri di Pilgub Jakarta

Sandiaga, akhirnya benar-benar resmi terjun dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang pemungutan suaranya digelar pada 15 Februari 2017, setelah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta pada akhir September 2016.

Namun, posisinya bukan sebagai calon gubernur melainkan wakil gubernur. Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, dua partai yang mengusungnya, memutuskan mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon gubernur.

Pilih Anies atau Sahroni di Pilgub DKI 2024, Begini Jawaban Tak Terduga Surya Paloh

Atas putusan itu, Sandiaga tidak kecewa. Justru dia menerima dengan ikhlas dan tangan terbuka.

Dalam sebuah wawancara dengan VIVA.co.id, Sandiaga menceritakan alasannya bersedia menjadi wakil. Lulusan Wichita State University, Amerika Serikat itu, juga memaparkan keyakinannya bisa memenangkan persaingan dalam Pilkada DKI, meskipun menghadapi calon petahana yang sangat kuat dan disebut-sebut dekat dengan penguasa.

Berikut wawancara kami dengan Sandiaga Uno:

Anda sudah hampir setahun turun melakukan sosialisasi ke warga DKI Jakarta. Bagaimana ceritanya, akhirnya memiliki keinginan dan niat untuk maju di Pilkada DKI?

Setelah setahun saya melihat ke belakang, kok bisa berani-beraninya gitu (maju Pilkada DKI). Ternyata, iya itu sebuah panggilan.

Awalnya, itu adalah keputusan daripada kader Gerindra DKI untuk menjaring nama saya sebagai salah satu calon gubernur. Awalnya, saya pikir guyon gitu lho. Awalnya, saya pikir jokes, sampai saya enggak terlalu gubris. Karena, waktu itu saya masih di luar negeri untuk sekolah. Waktu saya kembali, ternyata beritanya semakin deras.

Saya tanya ke Pak Prabowo, beliau bilang bahwa itu aspirasi dari kader. Saya bilang, seberapa serius pak, ini bapak menghukum saya ini? Kalau hukum saya, push up saja pak. Berkonsentrasi menghadapi petahana yang superman waktu itu, enggak bisa salah, pokoknya apa yang dilakukan benar. Saya bilang, saya bukan orang yang tepat.

Tetapi, beliau bilang, “coba deh pelajari dulu. Karena, saya di politik itu selalu berdasarkan insting. Insting politik itu, tahun lalu menyatakan bahwa sama waktu saya melihat potensi di Pak Jokowi (Joko Widodo), dan potensi ini ada di Anda. Gimana kalau dipelajari dulu, dikaji?”

Akhirnya, selama mulai dari bulan November sampai Desember (2015), saya kaji semuanya. Saya lakukan observasi, saya lakukan sosialisasi. Ada beberapa focus group discussion dan survei yang menarik, dan ternyata isu yang dihadapi warga DKI Jakarta itu adalah masalah lapangan pekerjaan dan masalah biaya hidup yang semakin tinggi, serta dengan harga bahan pokok yang melambung dan sangat fluktuatif yang akhirnya mengakibatkan kesulitan bagi pelaku usaha mikro, rakyat kecil, dan sebagainya.

Nah, kalau isu dua ini, saya mengerti nih. Salah satu yang menjadi fokus saya adalah masalah ketimpangan ekonomi juga, melalui program-program usaha mikro kecil menengah yang bisa kita didik, yang akan memperpendek kesenjangan yang dihadapi oleh warga Jakarta. Setelah mendapat validasi daripada apa yang kita pelajari, saya kembali ke Pak Prabowo. Pak Prabowo bilang, ya sudah, ikutan proses sosialisasi.

Sembilan orang, dari sembilan menjadi tujuh, tujuh menjadi lima, lima menjadi tiga. Waktu tiga, wah ini serius juga ini. Saya pikir, saya bakal tersisih sebelumnya. Yang dihadapi tokoh-tokoh hebat. Begitu tiga, dan akhirnya diputuskan saya itu, ya saya sudah siap. Tapi konsep saya kan, tuntas dan ikhlas. Saya tidak pernah untuk matok, harus jadi ini, harus jadi ini.

Tetapi, saya terus mencermati warga Jakarta bahwa selama saya berkunjung di 267 kelurahan, 44 kecamatan. Saya mungkin satu-satunya yang pernah berkeliling Jakarta dan menyapa warga di seluruh kelurahan.

Di situ saya mulai melihat harapan warga Jakarta untuk dihadirkan kepemimpinan yang baru. Mereka puas dengan kepemimpinan yang sekarang, cukup puas. Tapi mereka melihat, bahwa mereka ingin pemimpin yang baru. Dan, itu yang saya coba tangkap.

Dan, aspirasi ini yang membuat saya yakin bahwa setelah kita putuskan pasangan Anies-Sandi, ini adalah yang banyak ditunggu warga Jakarta untuk hadirnya suatu solusi terhadap permasalahan yang mereka hadapi dalam kesehariannya.

Menurut Anda, ini kan sudah hampir setahun dan sempat digadang-gadangkan untuk calon Gubernur DKI Jakarta. Namun, pada akhirnya setelah pembahasan yang cukup alot di Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, tetapi jatuhnya sebagai wakil gubernur?

Enggak alot sih. Enggak alot sama sekali.

Kisah dipasangkan dengan Anies bagaimana?

Enggak alot sih. Kita nunggu, kita ingin menyatukan. Karena, selain daripada survei yang menyatakan 60 persen lebih warga DKI Jakarta yang menginginkan yang memimpin yang baru, dan ada temuan juga bahwa 82 persen menginginkan hanya dua pasang calon (maju Pilkada DKI), supaya gampang memilihnya. Dan, pertimbangan ekonomi. Dan pertimbangan, ya terlalu bertele-tele dan lama.

Dan, akhirnya, saya berusaha menyatukan semua, karena saya memegang mandatnya sebagai calon gubernur yang diajukan oleh Gerindra. Ya, sudah banyak ditulis. Ya, intinya kita gagal menyatukan tersebut. Tuhan berketetapan lain.

Akhirnya, setelah Cikeas memutuskan mengusung pasangan calon Mas Agus dan Ibu Sylvi. Ya, akhirnya kita duduk bersama-sama untuk melihat, kita adalah pasangan yang rasional. Kita lihat surveinya, nomor satu Pak Basuki (Basuki Tjahaja Purnama), nomor dua Ibu Risma (Tri Rismaharini). Ibu Risma enggak maju. Nomor tiga saya, nomor empat Mas Anies (Anies Baswedan). Dan, di situ, ya sudahlah, saya menghubungi Mas Anies.

Saya enggak pernah berbicara mengenai posisi satu, posisi dua. Pokoknya, kita bersama-sama. Akhirnya, kita duduk bersama-sama dan saya melihat bahwa beliau ikhlas dan saya juga ikhlas. Saya sampaikan ke Pak Prabowo bahwa saya yang mengajak Mas Anies sebagai calon gubernur, saya yang calon wakil Gubernur, saya rela, saya rida.

Karena, selama berjalan dari calon gubernur ada harapan dari warga Jakarta, untuk memiliki pemimpin yang mengerti masalah pendidikan untuk masa depan dari pada generasi penerus bangsa.

Nah, akhirnya kepada Pak Prabowo bisa dijelaskan, sangat rida sangat terima. PKS apalagi. Menunjukkan kenegarawanan mereka, menunjukkan mereka dua partai yang besar, bisa menerima. Ya, kalau kita lihat di 2014, kami berseberangan. Saya jubirnya Pak Prabowo, beliau jubirnya Pak Jokowi. Tapi ternyata, kita bisa berdamai dengan masa lalu, demi Jakarta yang lebih baik lagi ke depan.

Kami menunjukkan sebuah proses yang sangat rasional dan di situ saya melihat bahwa, kenapa saya memutuskan mengajak Mas Anies. Dia belum kampanye saja, surveinya sudah kuat, saya sudah 12 bulan ada di posisi ke tiga. Tetapi, beliau tanpa terlalu bersusah payah ada di posisi ke empat, yang tidak terlalu jauh dari saya.

Jadi, menurut saya, saya berikan kehormatan kepada beliau. Ya, mantan menteri dan Alhamdulillah. Ini konsepnya dwi tunggal ya. Bahwa, kami tanpa pernah ban serep gitu. Tapi dwi tunggal.

Saya fokus di ekonomi dan infrastruktur, beliau fokus di institusi dan manusianya, memajukan manusia di Jakarta. Sangat nyaman keputusan itu di ambil. Enggak lama kita salaman, kemudian azan Subuh. Terus kita istirahat, salat Jumat bareng. Setelah itu, kita umumkan setelah Magrib, sesuai dengan janjinya. Mendaftar di KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah). Dan, tiga minggu sudah kita menyapa warga Jakarta, menunggu penetapan dari KPUD. Itu ceritanya.

Anda kan sudah turun hampir setahun, untuk persiapan dan strategi ke depan bagaimana?

Izin ke orangtua, cium tangan. Izin guru-guru, tokoh-tokoh senior, doa restu, istirahat yang cukup, olahraga yang cukup, makan dijaga, karena empat bulan setengah ini akan sangat lebih intensif dari satu tahun saya sudah berkeliling. Jadi, Itu sih PR (pekerjaan rumah) yang paling besar. Terus menyerap aspirasi rakyat, menghadirkan solusi bagi mereka.

Calon petahana kita tahu semua, diunggulkan dan kemudian didukung oleh partai terbesar di DPRD DKI dan sebagai pemenang pemilu. Mungkin melihat peluang itu, seperti apa? Apakah cukup optimistis untuk mengalahkan yang superior?

Saya sangat optimis, karena dilihat dari kinerja pemerintah provinsi sekarang masih dilihat. Ada beberapa PR yang harus dilihat, dihadirkan sebagai solusi untuk warga DKI Jakarta. Yaitu, masalah lapangan pekerjaan. Masalah biaya hidup yang semakin tinggi di DKI Jakarta. Harga bahan pokok yang melambung tinggi dan cenderung fluktuatif.

Itu PR, yang mengakibatkan beliau (petahana), walaupun secara kekuatan elektoralnya kuat, tetapi terus menurun. Itu tren yang terkonfirmasi dan tervalidasi dari begitu banyak teman. Sementara, kami justru ada di dalam siklus yang justru berbeda. Kami yang justru lagi meningkat dari kinerja dari beberapa lembaga yang memantau pergerakan elektoral di Pilgub 2017 ini.

Saya melihat, ada perubahan preferensi yang signifikan, karena selama ini isu-isu utama belum juga tersentuh oleh Pemprov, yaitu isu ekonomi dan kesejahteraan. Dan, saya sangat yakin bahwa satu, partai yang paling besar juga partai wong cilik, merasa bahwa di bawah, di masyarakat itu, bahwa mereka tidak terepresentasikan oleh kebijakan Pemprov yang sekarang.

Yang dirasakan yang terlalu berpihak kepada, justru kepada pemilik modal, golongan kelas menengah ke atas. Sedangkan mereka, menginginkan pemimpin yang lebih fokus dan berpihak kepada wong cilik.

Bagaimana strategi khusus untuk menarik warga DKI Jakarta, agar mau memilih pasangan calon Anies-Sandi?

Enggak ada yang khusus. Tapi terus sapa masyarakat, terus tebarkan demokrasi sejuk. Terus yakinkan masa depan Jakarta yang optimis dan hadirkan solusi bagi kesulitan-kesulitan dan permasalahan yang dihadapi oleh warga Jakarta.

Belum lama ini, Anda menyebut ada model khusus kampanye yang dilakukan dan belum pernah dilakukan. Itu bagaimana?

Kita akan  launching, saya enggak bisa kasih bocoran. Tetapi, ini adalah selain daripada transparansi yang kita lakukan secara totalitas, kita enggak cuma ngomong, tetapi betul-betul lakukan sesuai dengan komitmen kita. Kita juga ingin melibatkan partisipasi dari warga masyarakat.

Jadi, seperti kami selalu bilang, ini bukan tentang kampanye Anies dan Sandi, atau kampanye PKS dan Partai Gerindra. Atau kampanye relawan Anies-Sandi dan Boy Sadikin, bukan.

Tetapi, ini adalah gerakan demi pembaharuan dan demi Jakarta yang lebih baik dan lebih sejahtera. Ini adalah partisipasi masyarakat, ini yang kita perjuangkan, bukan hanya lima tahun ke depan. Tapi di Jakarta, 10-15 tahun ke depan. Jadi, kita akan membuat suatu inovasi dalam demokrasi yang kita harapkan akan membawa kesejahteraan kepada rakyat.

Kalau kami boleh tahu, agar masyarakat lebih antusias memilih Anda, mungkin apa kelebihan, atau keunggulan Anda?

Simpel aja. Jadi, diferensiasi dari tiga pasangan calon, bisa dilihat siapa yang paling memiliki pengetahuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh warga, khususnya di bidang kesejahteraan.

Saya membangun usaha dari kecil sekali, tiga karyawan, setelah saya di PHK. Ya, Alhamdulillah Tuhan membukakan pintu rezeki, saya bisa membangun usaha dengan 50 ribu karyawan. Itu tanpa APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), saya bangun murni dengan kekuatan sendiri, modal teman-teman dan modal perbankan.

Bayangkan, bagaiamana kalau pemerintah provinsi bisa melakukan kegiatan yang sangat syarat inovasi dan penuh terobosan yang penuh entrepreneurship, kewirausahaan. Bagaimana kita bisa membayangkan jumlah lapangan pekerjaan yang bisa disiapkan dalam sebuah bingkai kemitraan. Itu kedua.

Ketiga, saya melihat ada diferensiasi, di mana Mas Anies juga mampu untuk memberikan tawaran bahwa program-program yang sekarang sudah bagus bisa tambah diperbaiki dan diperbagus lagi gitu. KJP (Kartu Jakarta Pintar) sudah bagus, ada beberapa aspek yang warga berikan tawaran untuk kita pertimbangkan. Mas Anies jagonya.

Tadi kita bicara mengenai pemberdayaan perempuan, beliau juga punya pandangan terkait pemberdayaan perempuan. Beliau bicara mengenai pendidikan, mencerdaskan warga Jakarta, membahagiakan warga Jakarta. Beliau berpengalaman tentang tata kelola pemerintahan yang baik, governance yang baik.

Institusi yang betul-betul bekerja dalam penyerapan anggaran, menghadirkan laporan keuangan dengan wajar tanpa pengecualian. Terobosan-terobosan dan kinerja yang seperti itulah yang ditunggu untuk Pemprov DKI Jakarta ke depan.

Seandainya Anda terpilih, hal apa yang ingin dilakukan pertama kali untuk DKI Jakarta?

Pertama, tentunya langsung mendirikan konsep kewirausahaan di 44 kecematan. Saya akan link in match dengan wirausaha-wirausaha, entrepreneur-entrepreneur muda yang sukses di bidang kuliner, di bidang teknologi dan digital, di bidang fashion. Di situ, akan semakin bertumbuh gairah dari kalangan muda untuk menciptakan lapangan pekerjaan, bukan untuk mencari pekerjaan.

Saya langsung dalam proses secepat-cepatnya ingin memastikan pasokan, sehingga nanti pas Lebaran, 2018. Karena, kami masuk efektif pas Oktober 2017 (kalau terpilih), kita harus melakukan sedini mungkin, kerja sama-kerja sama yang bisa dibidik antara BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) maupun kemitraan dengan dunia usaha, HIPMI, Kadin, Apindo, asosiasi-asosiasi lain untuk memastikan harga bahan pokok itu lebih stabil ke depan. Pastikannya itu kan sederhana. Masalah rantai distribusi.

Ketiga, saya ingin ada suatu keberpihakan yang jelas kepada usah mikro kecil menengah. PKL (Pedagang Kaki Lima) diberikan pelatihan-pelatihan, di mana mereka harus berusaha. Lahan usahanya harus jelas. Dari segi periode, mereka bisa berjualan dari jam berapa sampai jam berapa. Lokasinya yang betul-betul trafiknya ada dan dilalui oleh para calon pembeli. Itu yang sangat konkret dalam seratus hari saya harus selesaikan.

Apa saja program unggulan dari Anies dan Anda?

Program unggulan ya itu, menciptakan lapangan pekerjaan dan menstabilkan harga kebutuhan pokok.

Bagaimana solusi Anda mengatasi banjir di Jakarta? Bagaimana juga, solusi untuk macet di DKI?

Kan, kita lihat ada dua pilar, macet juga dua pilar. Satu inisiatif dari pemprov, dua partisipasi dari masyarakat.

Inisiatif dari pemprov, apa yang baik dilakukan oleh pemerintah sekarang, kita akan genjot. Misalnya, normalisasi sungai dan saluran. Itu kita akan genjot secara, kalau bisa kita keroyok semua dengan jumlah petugas kebersihan itu kita tingkatkan. Tapi partisipasi masyarakat jangan ketinggalan, bagaimana gerakan membuang sampah pada tempatnya.

Gerakan memilah sampah di level keluarga. Pendidikan dari kemungkinan kewirausahaan untuk mengelola sampah tersebut. Itu bisa menjadikan sampah itu bukan masalah tapi berkah.

Nah, dengan itu ada dua lokomotif untuk menangani banjir. Satu adalah pendekatan dengan pemprov, dengan normalisi, dengan proses penciptaan embung, situ dan folder-folder yang selama ini sudah bagus tapi perlu ditingkatkan lagi, kebersihan sungai, salurannya dan partisipasi dari masyarakat.

Dengan begitu kita akan lihat, yang sebenarnya ada dua engine, banjir yang sebetulnya jauh lebih baik dibandingkan beberapa tahun. Bisa menjadi masalah yang tidak akan muncul dalam lima sampai 10 tahun ke depan.

Kalau macet?

Kalau macet juga sama. Partisipasi dari masyarakat. Saya melihat, kalau macet ini fenomena bukan hanya di Jakarta, di luar negeri, di kota-kota besar juga ada.

Tapi di Jakarta sangat membedakan, kelas menengah sangat tidak berperilaku sebagai kelas menengah. Mereka menggunakan kendaraan pribadi, padahal jaraknya cuma 1,5 kilometer. Menambah beban, di jalannya tidak bertambah, tetapi kendaraannya bertambah terus.

Jadi ada satukan gerakan yang mulai membiasakan kita untuk menggunakan kendaraan umum, sharing, carpooling, melalui aplikasi teknologi. Atau enggak terlalu jauh jalan kaki aja.

Nah, pemprov harus menyediakan trotoar, atau fasilitas untuk pejalan kaki yang memanusiakan mereka. Jangan sampai pejalan kaki, justru haknya dikebiri oleh pengendara bermotor.

Saya melihat beberapa kali, saya jalan kaki, dipepet oleh motor di atas trotoar. Itu adalah pendekatan-pendekatan yang melibatkan partisipasi dari masyarakat. Penggunaan teknologi digital akan kita tingkatkan lagi. Sekarang banyak sekali yang menggunakan aplikasi-aplikasi yang memastikan bahwa kita akan melewati jalan yang terbaik. Itu, bisa digunakan juga.

Transportasi bagaimana?

Kalau untuk transportasi, kita akan, kalau untuk Transjakarta kan brand-nya sudah lumayan bagus. Kita tingkatkan, gandakan, bahkan kita tiga kali lipatkan armadanya, kita perbaiki haltenya. Kita perbaiki fasilitas-fasilitasnya. Kita tingkatkan pelayanannya, kita tingkatkan haltenya, kita tingkatkan kenyamanannya. Kita usahakan, agar harganya masih terjangkau. Sehingga, orang itu mau naik kendaraan umum. Tapi sekarang, kadang-kadang desak-desakan.

Saya pernah mengalami, itu kelihatan. Itu ketika saya naik metromini, oh ini enggak layak banget. Begetar banget, ugal-ugalan supirnya, padahal ada saya di belakang. Saya bilang, ini gimana sih. Harusnya sudah, mereka lebih terdidik gitu.

Jadi, diajak mereka kerja sama dengan kita ganti kendaraannya supaya masuk dalam sistem TranJakarta yang integratif. Sopir-sopirnya dididik ulang, supaya enggak ugal-ugalan. Diberi gaji saja, supaya enggak ngejar setoran. Montir-montirnya dikaryakan di bengkel-bengkel yang bisa menjadikan mereka montir-montir handal. Karena, selama ini mereka jago ngakalin gitu.

Itu adalah pendekatan yang memberikan solusi. Jadi, mereka enggak dibikin sulit. Mereka tetap menjadi bagian dari bisnis transportasi.

Soal penggusuran, mungkin menjadi salah satu topik yang cukup dibahas selama kepemimpinan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Bagaimana tanggapan Anda?

Saya rasa case by case. Untuk yang ada di bantaran sungai dan yang menjadi kursial untuk penanganan banjir ini kan. Mereka mengerti juga kok, kalau diajak bicara. Kuncinya adalah pendekatan diajak bicara dan partisipasi dari masyarakat.

Tadi di Kalibaru, mereka tahu mereka bukan ada di tempat di bantaran sungai, tetapi mereka khawatir digusur. Itu mungkin diberikan suatu proses yang mendengar, apa sih maunya. Kan kita mau tata mereka dengan baik, mereka menyinggung kampung deret. Kampung deret itu salah satu solusi bagaimana dibangun secara vertikal. Empat sampai lima lantai, itu kan bisa naik tangga, enggak usah pakai lift gitu.

Kemudian, penertiban sekarang enggak ada ganti rugi?

Enggak ada ganti ruginya? Karena, kalau diganti rugi, mereka mau kok pindah. Karena, mereka tinggal di situ, juga usaha juga di situ. Jualan nasi uduk di situ juga.

Tadi ada seorang ibu bilang, kalau saya pindah, biasanya masak lima liter bisa turun ke satu liter juga. Gimana kan, dia kan ada cicilan juga ke koperasi, atau bank. Jadi, harus dihadirkan solusinya.

Kuncinya adalah komunikasi, kuncinya adalah keadilan, bahwa mereka itu ditata bukan ditertibkan. Tetapi, ditata dengan keyakinan mereka sendiri. Malah mereka, kadang-kadang mau pindah sendiri.

Termasuk, rumah mewah dan gedung mewah yang tidak sesuai aturan, atau enggak ada sertifikat?

Kalau rumah mewahnya melanggar, ya kita harus berani. Kita jangan tebang pilih, jangan tebang pilih. Istilahnya, jangan orang yang tidak punya kemampuan. Tapi semua harus sama.

Kalau di daerah-daerah resapan, ternyata dihuni oleh kawasan yang elite, itu seperti apa?

Ya, kita harus tegas dan harus duduk sama mereka. Kalau mereka punya legalitas, ya kita harus punya solusi. Ya, mungkin kita beli. Kan, pengusaha mau kok mendukung.

Saya sendiri punya usaha, sebenarnya dikelola profesional. Tetapi, saya sebagai salah satu pemegang saham. Kalau kita diajak bicara, terus ini mengganggu, ini harus dibeli untuk dijadikan ini, karena kita pegang sertifikat hak milik kan.

Ya, tinggal dicari solusi yang bisa diterimalah. Win win-lah, tetapi enggak boleh menang-menang sendiri, harus win win-lah. Kalau sama yang rakyat kecil bisa tegas, ya sama yang punya duit juga harus lebih tegas. Jangan kayak pisau, tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Soal ini klasik juga sih ,Jakarta ini kan sebagai magnet untuk warga mengadu nasib. Khususnya dari daerah-daerah. Urbanisasi. Solusi apa untuk mencegah laju urbanisasi?

Enggak bisa. Kita enggak bisa mencegah. Intinya, kita bangun pusat-pusat pertumbuhan di luar Jakarta.

Jadi, studi daripada Mckinsey, basement stalking group, itu semua setuju bahwa 75 persen dari populasi dunia itu akan ada di urban. Dan, 90 persen roda perekonomian itu ada di urban juga. Jadi, mereka mau enggak mau magnetnya akan di Jakarta. Tapi kan, bukan Jakarta asja. Ada Bekasi, ada Tangerang, ada Depok.

Nah, kita harus punya suatu kerja sama untuk menyangga datangnya populasi dari daerah pedesaan. Di situ butuh pemimpin dan gubernur yang bisa berkomunikasi dengan daerah. Dengan Wali Kota Tangsel, Wali Kota, dan Bupati Bogor dan sebagainya.

Kita bisa bikin tata ruang yang bisa bersinergi. Misalnya Jakarta itu kota jasa, ya semua yang jasa di sini. Yang Industri dipindahkan ke tempat lain. Sehingga, akhirnya fokus pembangunan ke depan itu sangat jelas.

Kalau kita punya sarana transportasi yang baik, itu bisa terhubung semua ini. Mungkin, orang bisa tinggal di Bekasi, tetapi kerjanya di Jakarta. Karena, ada sarana transportasi, jadi enggak bikin macet. Dia naik kereta, atau naik angkutan lain.

Ahok ini kan, selain didukung partai pemenang pemilu dan terbesar di DPRD DKI, dulunya kan pasangan Pak Jokowi. Nah, pasangannya ini sekarang jadi Presiden. Dulu Pak Yusril juga pernah bicara terang-terangan istilahnya, Presiden jangan ikut campur dan memihak salah satu. Menghadapi petahana yang sepertinya didukung Presiden itu, sikap Anda bagaimana?

Saya yakin 100 persen, Presiden itu netral dan saya pegang statement dari pemerintah bahwa mereka enggak (ikut campur). Jadi, saya enggak khawatir sama sekali. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya