Dua Tahun Jokowi-JK, Penerimaan Pajak Masih Rendah

Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

VIVA.co.id – Genap sudah masa dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin Indonesia. Namun, hingga saat ini, rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) Indonesia, masih menjadi yang terendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain.

IHSG Menguat Ditopang Capaian Penerimaan Pajak, tapi Dihantui Pelemahan Rupiah

Hal ini dipaparkam oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sosialiasi pencapaian dua tahun kinerja pemerintahan Jokowi-JK, yang digelar di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 25 Oktober 2016. Saat ini, tax ratio Indonesia berada di angka 11 persen.

"Kita harus meningkatkan tax ratio yang masih rendah, dibandingkan dengan negara-negara middle class (kelas menengah) lainnya," tegas Ani, sapaan akrab Sri Mulyani.

IHSG Dibuka Menguat, Cek Saham-saham Pilihan Hari Ini

Ani menekankan, dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, reformasi perpajakan secara menyeluruh pun menjadi komitmen pemerintah. Tidak hanya melalui program pengampunan pajak, namun juga perubahan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

"Dan, yang terpenting adalah bagaimana Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengumpulan pajak secara baik. Ini semua harus diperbaiki," katanya.

Jawab Mahfud MD, TKN Optimis Rasio Penerimaan Negara Naik Hingga 23 Persen

Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan, pada periode kedua pelaksanaan amnesti pajak, pemerintah pun akan kembali menggeliatkan sosialiasi, dalam rangka menjaring para wajib pajak, yang berpotensi untuk berpartisipasi dalam amnesti pajak.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, pembangunan infrastruktur telah menjadi prioritas utama dalam kepemimpinan Jokowi-JK. Namun, ada beberapa hal yang tentu akan memengaruhi pelaksanaan pembangunan.

Salah satunya, adalah dari sisi pendanaan. Menurut mantan gubernur Bank Indonesia itu, pembangunan infrastruktur membutuhkan dana yang relatif besar. Apalagi, penerimaan pajak menjadi sektor paling sentral terhadap pendapatan negara secara keseluruhan.

"Infrastruktur itu mahal. Sehingga, investasi dalam jumlah besar itu perlu waktu lebih panjang. Perlu uang lebih banyak, untuk menggerakkan pertumbuhan," ujarnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya