Jessica dan Kontroversi Misteri Kematian Mirna

Jessica Kumala Wongso.
Sumber :
  • ANTARA/Rosa Panggabean

VIVA.co.id – Jessica Kumala Wongso telah memberikan pengakuan atas perkara pembunuhan berencana bermodus racun sianida terhadap temannya, Wayan Mirna Salihin, di Kafe Olivier yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Otto Hasibuan Bakal Daftarkan PK Jessica Wongso Tahun Depan

Dengan tampilan berbeda, lebih dari 12 jam, Jessica menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan para jaksa dan hakim dalam persidangan ke-26 di ruang sidang utama Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Meski terlihat sedikit tegang dan sering menjawab pertanyaan dengan kalimat tidak ingat, tapi dengan tegas, Jessica menyatakan, tidak melakukan pembunuhan seperti yang didakwakan kepadanya.

Otto Hasibuan Bakal Lapor Bareskrim soal Dugaan CCTV Kasus Jessica Wongso Dihilangkan

"Sedotan, kopi Mirna, saya tidak pernah sentuh. Yang saya ingat bawahnya masih tetap susu yang belum dituang apa-apa dari teko, atasnya hitam. Saya tidak pernah menuangkan apapun ke kopinya Mirna," kata Jessica, Rabu 28 September 2016.

Karena, menurut Jessica, pertemuannya dengan Mirna di kafe mewah itu, bukanlah ide dia. Ide itu justru berasal dari keinginan mereka yang akan ikut dalam pertemuan itu.

Otto Hasibuan Mau Ajukan PK Kasus Jessica Wongso, Ini Pesan Edi Darmawan

Jessica mengaku, selama ini tidak pernah tahu kafe-kafe apa saja yang ada di Jakarta. Sebab, sejak tahun 2006, Jessica lebih banyak tinggal di Australia. Dalam percakapan di aplikasi pesan WhatsApp (WA) antara Jessica, Mirna, Hani dan Vera, tercetus dua tempat, yang salah satunya adalah Kafe Olivier.

"Mau pergi kemana nih, restoran mana yang baru, yang enak. Ada dua tempat yang ditawarkan, saya lihat website akhirnya saya putuskan untuk ke Olivier. Saya lihat website, enggak ada alasan tertentu. Yang ngatur saya doang, yang lain pada sibuk," kata Jessica

Dan akhirnya Kafe Olivier dipilih Mirna, karena menurut Jessica, dia sempat mengirimkan daftar menu yang ada di kafe itu. Dan Mirna langsung memilih es kopi Vietnam dan menyatakan setuju ketika Jessica menawarkan diri memesankan apa yang diinginkan Mirna itu.

"Saya kirim menu minuman jus semua ke WA. Mirna yang jawab kalau dia suka dengan es kopi Vietnam. 'Kalau gitu gue pesanin dulu ya, oh ya pesanan dulu sih'," ujar Jessica.

Jessica juga mengaku tidak merencanakan apapun terkait adanya tas kertas alias paper bag di meja 54, tempat mereka bertemu, yang akhirnya menjadi tempat Mirna kolaps. Paper bag itu bagi Jessica hanya bagian dari bungkus hadiah berupa sabun yang akan diberikannya kepada ketiga temannya, Mirna, Hani dan Vera.

Jessica juga menolak pendapat AKBP Muhammad Nuh, saksi ahli digital forensik Polri yang pernah dihadirkan jaksa dalam persidangan, tentang adanya gerakan mencurigakan Jessica selama berada di Kafe Olivier yang terekam kamera CCTV (Closed Circuit Television).

Pada persidangan ke-11 yang digelar Rabu 10 Agustus 2016, Muhammad Nuh memaparkan, berdasarkan analisis video hasil rekaman CCTV Kafe Olivier, ada gerakan tangan Jessica membuka tas yang diduga gerakan mengambil sesuatu dari dalam tas.

"Pada pukul 16.23.37 WIB, Jessica dari ujung sofa ke tengah sofa. Mengambil garis sejajar dengan CCTV dan tanaman hias. Jadi, terhalang tanaman hias. Tetapi, masih kelihatan gerakan tangan dari CCTV, meski badannya tertutup tanaman hias. Ada gerakan tangan membuka tas. Ada pergerakan pixel tangan kiri, tangan kanan. Pukul 16.30.55 WIB, Jessica mengambil dudukan menu di ujung meja dibawa ke dekatnya. Selama kegiatan itu, terdakwa menoleh ke kanan ke kiri, memegang rambut," katanya.

Jessica mengatakan, gerakan tangannya yang terekam itu bukanlah gerakan mengambil sesuatu yang berbahaya. Tapi melainkan mengambil sebuah cermin. "Saya ingin berkaca sambil menunggu Mirna datang," kata Jessica.

Tentang hasil rekaman CCTV itu, sebelumnya juga sempat menjadi kontroversi, saat ahli forensik information technology (IT), Rismon Hasiholan Sianipar, yang dihadirkan penasihat hukum Jessica pada Kamis 15 September 2016, mencurigai adanya perbuatan tampering atau pemodifikasian ilegal dengan tujuan tidak baik dalam rekaman video CCTV Kafe Olivier yang dijadikan barang bukti perkara kematian Mirna.

"Kita menduga adanya perbuatan tampering suatu modifikasi ilegal bertujuan untuk tujuan tidak baik," kata Rismon di persidangan.

Menurut Rismon, dugaan tampering muncul dari adanya indikasi inkonsistensi dan tidak proposionalnya jari telunjuk dari Jessica. Dan modifikasi itu diduga sengaja dilakukan oleh AKBP M Nuh. "Pemprosesan frame yang dimodifikasi saksi ahli M Nuh," kata Rismon.

“Perang” saksi ahli

Dalam rangkaian persidangan sebelum Jessica menyampaikan kesaksian, banyak muncul kontroversi dan perdebatan panas terkait perkara ini. Hal itu menurut pengamat hukum, Luhut M Pangaribuan, disebabkan perkara kematian Mirna sebenarnya masih belum matang untuk dibawa ke pengadilan.

Luhut mengatakan, kontroversi terjadi karena barang bukti yang disertakan jaksa dalam berkas acara pemeriksaan (BAP) tidak ada yang menuju pada kebenaran materiil.

"Perkara ini dibawa ke pengadilan, prematur. Barang bukti yang ada, tak ada yang menuju pada satu titik kebenaran materiil. Tidak boleh ada keragu-raguan," kata Luhut.

Luhut mengatakan, selama ini dalam rangkaian persidangan perkara Jessica Kumala Wongso banyak terjadi keragu-raguan. Hal itu terlihat dengan adanya beda pendapat antara ahli dan saksi yang dihadirkan jaksa dan penasihat hukum.

"Yang ada selama ini kontroversi, yang ada cuma keragu-raguan. Tidak boleh menuntut orang dengan ragu-ragu," kata Luhut.

Menurut Luhut, ada banyak kontroversi terjadi di persidangan karena prematurnya perkara itu. Seperti ada tidaknya sianida sebagai penyebab kematian Wayan Mirna, keaslian barang bukti, motif pembunuhan hingga tidak sempurnanya hasil penyidikan pihak kepolisian terhadap kasus itu.

Pada persidangan sebelumnya, saksi ahli forensik Rumah Sakit Polri Kramat Jati, dokter Slamet Purnomo, yang dihadirkan jaksa dalam persidangan pada Rabu 3 Agustus 2016, mengaku mulai yakin Mirna tewas akibat sianida. Keyakinannya itu menguat setelah menurutnya, menemukan sejumlah kecocokan ciri cara racun berbahaya itu membuat seseorang meninggal dunia.

"Menurut saya itu berupa sianida, bisa arsen, bisa juga H2SO4 atau asam sulfat," kata dr Slamet.

Slamet juga mengatakan, melihat ada kecocokan antara diagnosa ciri korban racun sianida dengan hasil rekaman CCTV Kafe Olivier. "Kami yakini setelah melihat CCTV, korban tewas karena sianida," kata dokter Slamet.

Apa yang diyakini dokter Slamet juga dikuatkan dengan pendapat ahli toksikologi Pusat Laboratorium dan Forensik Mabes Polri, Kombes Pol Nur Samran Subandi. Bahkan, Nur Samran menyamakan jenis sianida yang disebut menyebabkan Mirna tewas dengan jenis sianida yang digunakan Nazi pimpinan Adolf Hitler untuk membantai kaum Yahudi selama Perang Dunia II

Nur Samran menuturkan racun sianida yang ditemukannya di dalam lambung dan sisa kopi Wayan Mirna berjenis Natrium Sianida (NaCN). Bahan kimia jenis ini sangat beracun dan mematikan ketimbang sianida jenis lainnya. "Digunakan juga zaman Hitler untuk membunuh Yahudi," kata Nur Samran.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Puslabfor, kata Nur Samran, pada lambung Wayan Mirna ditemukan korosi, dan dipastikan akibat sianida. "Saya pastikan, korosi pada lambung korban karena sianida," kata dia.

Nur Samran juga menduga, sianida yang ada di dalam es kopi Vietnam Mirna berbentuk padat, bukan cair. "Kita tidak bisa pastikan dalam bentuk apa. Tapi dari fakta yang kita temukan, kemungkinan besar dalam bentuk padat," ujarnya.

Selain Nur Samran, jaksa juga menghadirkan ahli toksikologi, I Made Agus Gelgel Wirasuta, sebagai saksi. Dalam persidangan, secara meyakinkan, Agus Gelgel menyebutkan sianida yang masuk ke tubuh Mirna diperkirakan sebanyak lebih dari 0,2 miligram.

Menurut Gelgel, 0,2 miligram sianida yang ditemukan dalam lambung Mirna hanya sebagian. Sebagian sianida lainnya sudah terserap oleh organ tubuh Mirna sehingga tidak dapat menyerap oksigen. Hal itu berujung tewasnya Mirna.

"Karena banyak asupan sianida pada tubuh Mirna dan sianida itu diserap sel-sel dan membentuk gas hingga akhirnya sel tubuh korban tidak bisa menerima oksigen," katanya.

Mirna tewas bukan karena sianida?

Namun, keterangan tiga ahli itu, dimentahkan oleh keterangan ahli toksikologi yang dihadirkan penasihat hukum Jessica, yakni, Dr rer nat (doctor rerum naturalium) Budiawan dari Universitas Indonesia (UI) dan Michael Robertson dari Australia. Serta ahli patologi forensik anatomi, Gatot Susilo Lawrence.

Dalam keterangannya sebagai saksi ahli, baik Budiawan, Michael Robertson maupun Gatot Susilo Lawrence, memastikan jika Wayan Mirna tewas bukan karena sianida.

Karena dalam BAP, pada barang bukti keempat, yaitu cairan lambung Mirna yang diambil 70 menit setelah kematian, Puslabfor Polri menyatakan, cairan lambung tidak terdapat sianida alias negatif.

"Dia lebih reliable, lebih fresh, kontaminasi tidak ada. Itu penting, 70 menit kita lakukan pengambilan sampel lebih reliable, lebih dapat dipercaya. Kalau 0,2 miligram, this is too small. Banyak bakteri post-mortem (pasca-kematian) yang dapat menghasilkan sianida," ujar Gatot, Rabu 14 September 2016.

Gatot menilai, dalam persidangan kasus pembunuhan Mirna berjalan terlalu lama dan semakin rumit. Oleh karenanya, perlu dilakukan autopsi, untuk mengetahui apakah Mirna tewas disebabkan racun sianida atau tidak.

Hal tersebut lantaran di setiap tubuh manusia terdapat sel penting, yang mana sel yang paling dibutuhkan adalah oksigen yang baik untuk otak dan ginjal.

"Di jantung, mitokondria itu paling banyak di jantung. Oleh sebab itu landasan science, mengapa kita curiga kasus sianida, harus buka jantung, harus sampai otak, harus sampai ginjal," katanya.

Gatot menjelaskan, bagaimana cara kerja sianida yang masuk ke jantung, otak, ginjal dan harus dilakukan pemeriksaan agar diketahui dosis racun sianida. Menurut Gatot, sianida yang masuk ke tubuh akan membuang oksigen dari fungsi aslinya.

"Sianida itu berkompetensi pada CO2, maka dari itu oksigen ditendang semua. Banyak oksigen dalam tubuh tetapi enggak difungsionalkan. Kalau orang normal, keracunan sianida, maka oksigen yang dalam arteri dan vena banyak tapi tidak fungsional itulah yang disebut cherry red pada kasus pembunuhan Mirna," katanya.

Dalam kesaksiannya, Gatot berpendapat temuan sianida di dalam lambung Mirna terlalu kecil. Dia juga berpendapat ide racun sianida dalam kasus Mirna kurang bukti.  Dia mengatakan seharusnya autopsi tubuh Mirna bisa lebih membuka tabir misteri kematian Mirna. Namun sayang, hal itu tidak dilakukan.

Sedangkan Michael Robertson berpendapat, kemungkinan sianida sebanyak 0,2 miligram yang ditemukan di lambung Mirna setelah tiga hari meninggal dunia, muncul karena adanya bakteri dalam lambung.

"Adanya perubahan setelah kematian atau sianida itu terbentuk setelah kematian. Apabila dalam lambung mengandung sianida, mungkin karena bakteri dalam lambung, maka hal tersebut bisa menyebabkan terbentuknya sianida setelah kematian," kata Michael.

Michael mengatakan, jika sianida masuk ke tubuh Mirna sebelum kematian, seharusnya sianida sudah ditemukan dalam jumlah banyak saat cairan lambung Wayan Mirna diambil 70 menit setelah kematian. Bukan dalam jumlah kecil ditemukan di lambung setelah tiga hari kematian.

"Begitu pula halnya dengan sampel empedu dan hati yang ternyata negatif padahal harusnya positif jika yang bersangkutan juga tewas karena sianida. Ini tidak lazim, karena pada umumnya ditemukan sianida di air seni," ujarnya.

Sementara itu, ahli patologi forensik senior dari Fakultas Kedokteran Universitas Quensland, Brisbane, Australia, Beng Beng Ong, dalam persidangan pernah menjelaskan, seseorang yang meninggal dunia akibat sianida, darah dan beberapa organ penting lainnya seperti hati, empedu, dan urine, akan terdeteksi positif racun NaCN.

"Apabila seseorang meninggal karena sianida, tentu diharapkan hasil pemeriksaan sianida menunjukkan hasil positif di dalam darah dan organ tubuh bagian dalam," ujarnya.

Beng Ong mengatakan, pada kasus Mirna hanya terdapat sianida sebanyak 0,2 miligram per liter di lambungnya. Jumlah itu terlalu kecil untuk bisa menyebabkan kematian, sedangkan darah dan organ lainnya juga dinyatakan negatif sianida.

"Apabila seseorang meninggal karena sianida, terutama masuk lewat mulut, maka akan mengakibatkan tingkat sianida yang dijumpai pada lambung biasanya sangat tinggi dan bisa mencapai lebih dari 1.000 miligram per liter," kata Beng Ong.

Selain itu, seseorang yang terpapar sianida dengan cara meminum zat kimia itu, maka imbasnya akan terlihat sekitar 30 menit hingga beberapa jam kemudian untuk bisa kolaps. Kecuali, paparan itu didapatkan dengan cara dihirup. "Penghirupan selalu memberikan kematian lebih cepat daripada lewat mulut," kata Beng Ong.

Hal ini, karena konsumsi lewat mulut akan membuat racun itu harus diserap terlebih dulu oleh tubuh, melalui beragam organ di saluran pencernaan, serta hati yang bertugas menyaring racun dari tubuh.

Tak ada bukti Jessica meracun Mirna

Perbedaan pendapat para ahli tak hanya terjadi pada ahli patologi dan toksikologi. Ahli hukum pun harus bergelut di persidangan kematian Mirna.

Ahli hukum pidana dari Universitas Gajah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej, yang dihadirkan jaksa di persidangan ke-14 menyebut, Pasal 340 KUHP yang mengatur mengenai pembunuhan berencana tidak perlu mencari asal usul motif terjadinya perkara itu. "Ada teori yang menjelaskan, yaitu teori Dolus Premeditatus," kata Edward.

Edward menjelaskan, dalam teori itu, ada tiga hal yang menguatkan jika pelaku pembunuhan berencana tidak perlu asal usul, atau motif terjadinya perkara.

"Pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan dalam keadaan tenang. Kedua, ada tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak dengan kejadian. Untuk yang ketiga, pelaksanaan kehendak dilakukan dengan tenang, harus menggunakan pemikiran yang matang," katanya.

Sedangkan ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dr Mudzakkir, yang dihadirkan penasihat hukum menilai, suatu tindak pidana tidak bisa dipertanggungjawabkan orang lain yang tidak melakukannya.

"Siapa yang berbuat, dialah yang bertanggung jawab. Makanya, dicarilah perbuatan dia sejauh mana, untuk mempertanggungjawabkannya itu. Tidak bisa kalau tidak melakukan, tapi dipertanggungjawabkan untuk orang lain. Harus ada perbuatannya sendiri," ujarnya.

Menurutnya, seseorang yang diduga mati karena keracunan, pada tubuhnya harus terdapat racun. Apabila tidak, maka dapat diragukan sebab akibatnya. "Logikanya itu ada orang ada racun pasti minum racun. Ini kausalitasnya diragukan, dan inilah pembuktian dalam hukum pidana harus original, termasuk alat bukti tidak boleh diubah," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya