KPK Larang Pejabat Sulawesi Tenggara ke Luar Negeri

Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jojon

VIVA.co.id – Dalam pengembangan kasus dugaan korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan yang menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mengajukan surat pencegahan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi, atas nama tiga orang saksi. 

Mereka yang dicegah adalah Direktur PT Billy Indonesia, Widi Aswindi, Pemilik PT Billy Indonesia, Emi Sukiati Lasimon, dan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, Burhanuddin. KPK meminta imigrasi melarang mereka bepergian ke luar negeri selama enam bulan ke depan.

Mardani Maming Baru Setor Rp10 M dari Total Uang Pengganti Rp110,6 Miliar

"Mereka dicegah karena bila sewaktu-waktu penyidik membutuhkan keterangannya, yang bersangkutan tidak sedang berada di luar negeri," kata Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat, 26 Agustus 2016. 

Selain melayangkan surat pencegahan, penyidik KPK dalam kasus Nur Alam, hari ini juga memeriksa sejumlah saksi. "Pemeriksan saksi-saksi tersebut dilakukan di Mapolda Sultra," kata Priharsa.

Perjalanan Kasus Korupsi PT Antam Rp92 Miliar yang Menyeret Eks Dirut

Diketahui, kasus ini kali pertama mencuat ke publik setelah Nur Alam menerbitkan SK nomor 828 tahun 2008 tentang Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan PT AHB seluas 3.084 hektare, di atas lahan tambang milik PT Prima Nusa Sentosa.

Surat yang dikeluarkan Nur Alam itu ditingkatkan lagi dengan menerbitkan SK Nomor 815 tahun 2009 tentang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi milik PT AHB, serta ditingkatkan lagi statusnya melalui SK Gubernur Nomor 435 Tahun 2010 tentang persetujuan peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Eksploitasi di lahan yang sama.

Korupsi Rp5,8 Triliun, Bupati Kotim Resmi Jadi Tersangka KPK

Kasus ini pun sempat masuk perkara di Pengadilan Tata Usaha Negeri, dan Nur Alam kalah dua kali atas gugatan PT. Prima Nusa Sentosa, terkait tumpang tindih izin lahan tambang dengan PT AHB.

Hal ini sesuai putusan PT TUN Kendari yang disidangkan 30 Mei 2011, dengan Nomor 33/G.TUN/2010/PT-KDI, dan putusan pada  PT TUN Makassar dalam perkara banding bernomor 106/B.TUN/2011/PT TUN MKS tanggal 29 September 2011, sekaligus menguatkan putusan PT TUN Kendari.

PT TUN Makassar menilai Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam dalam menerbitkan izin yang menjadi obyek sengketa, terbukti prosedural formal dan subtansi materil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku, yaitu Undang Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1603.K/40/M.EM/2003, serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Putusan PTUN Makasar yang menguatkan putusan PTUN Kendari yang sekaligus menegaskan bahwa PT PNS berhak secara hukum untuk melakukan penambangan di atas lahan seluas 1.999 ha di Kecamatan Kabaena Tengah, Kabaena Selatan, dan Kabupaten Bombana, selama 20 tahun. Anehnya, walau dinyatakan kalah di persidangan, aktivitas penambangan tetap dilakukan PT AHB saat itu.

Masuk di 2016, KPK mulai menyelidi kasus Nur Alam ini dan menemukan bukti permulaan yang cukup. Alhasil, pada 23 Agustus 2016, KPK mengumumkan mantan Ketua DPW Partai Amanat Nasional itu sebagai tersangka, karena diduga menyalahgunaan wewenang menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi.

Selain itu, penerbitan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah, selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.

"Diduga, penerbitan SK dan izin tidak sesuai aturan yang berlaku, dan ada kick back yang diterima Gubernur Sultra (Nur Alam)," kata Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya