Biaya Interkoneksi Turun, Siapa Diuntungkan?

smartphone.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Beberapa hari belakangan dunia telekomunikasi dihebohkan dengan kebijakan penurunan biaya interkoneksi. Sejatinya, pelanggan tidak akan peduli berapa besar biaya tersebut turun karena hanya kesepakatan antaroperator saja. Pelanggan telekomunikasi di Indonesia hanya ingin tarif layanan komunikasi turun semurah mungkin.

KPPU Diminta Tegas Terhadap Perang Tarif Operator Telko

Pengamat telekomunikasi dari ITB, yang juga mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengatakan dengan pasti, turunnya biaya interkoneksi tidak akan berpengaruh signifikan pada penurunan tarif ritel (tarif yang dibayarkan pelanggan ke operator). Hal ini dikarenakan panggilan ke sesama nomor operator mendominasi jaringan selama ini. Bahkan, menurutnya, harga dasar jaringan yang sejak 2008 pernah beberapa kali diturunkan, tidak terbukti memiliki dampak signifikan terhadap tarif retail ke pelanggan dengan operator berbeda.

Namun tidak demikian dengan apa yang dipercaya Heru Sutadi. Pengamat ICT Institute yang juga mantan anggota BRTI selama dua periode (2006-2012) itu, mengatakan, interkoneksi merupakan komponen terbesar dalam penentuan tarif ke pelanggan. Dijelaskannya, formula penghitungan tarif untuk pelanggan adalah biaya interkoneksi ditambah biaya servis dan margin.

Tarif Internet Indonesia Termurah Dibanding Negara Lain

“Logikanya, jika biaya turun maka tarif ke pengguna juga akan turun, kecuali operator tersebut meningkatkan komponen margin secara eksesif (tinggi). Begitu juga sebaliknya, jika interkoneksi naik, maka logikanya tarif juga naik, kecuali operator menurunkan margin,” ujarnya kepada VIVA.co.id

Dia pun menampik perkataan Ridwan yang mengatakan, penurunan biaya interkoneksi hanya akan merugikan operator yang didominasi asing, dan merugikan operator lokal yang sudah membangun jaringan luas di Indonesia. Dia mengklaim, dalam sejarah telekomunikasi di Indonesia, biaya interkoneksi tidak memberikan kerugian bagi operator karena yang dijual  adalah produk dan layanan, khususnya SMS dan suara. Apalagi saat ini, layanan suara dan SMS sudah jarang digunakan, lebih banyak menggunakan data seperti WhatsApp, Skype, Line, dan semacamnya.

Kominfo Didesak Tuntaskan Seleksi Verifikator Interkoneksi

“Pendapatan bukan berkurang, tapi memang harga jual voice dan SMS sekarang harus turun atau lebih murah. Dari pengalaman yang sudah-sudah, meski interkoneksi turun, pendapatan operator, khususnya Telkomsel, tidak pernah berkurang. Bahkan, dari laporan keuangan 2015, dari semua operator, hanya Telkomsel yang masih untung triliunan, sementara operator lain berdarah-darah merugi,” kata dia.

Dia juga meluruskan saat ini, seolah-olah biaya interkoneksi yang ditetapkan pemerintah adalah final dan bersifat simetris. Padahal BRTI-lah yang akan menetapkan mana operator yang dinyatakan sebagai penyelenggara dominan. Penyelenggara dominan, dalam penetapan biaya interkoneksi-nya harus mendapat persetujuan dari BRTI.

“Apakah boleh, misal Telkomsel, menyampaikan angka lebih tinggi. Tidak dilarang. Hanya nanti akan dievaluasi BRTI, apakah angka yang disampaikan Telkomsel, valid atau tidak,” jelasnya.

Intinya, menurut dia, yang diuntungkan dari penurunan biaya interkoneksi ini adalah pelanggan karena tarif layanan suara dan SMS semakin murah. Sedangkan bagi industri, tentunya akan menjadi lebih bergairah dan sehat secara kompetisi.

Curhat Operator Telekomunikasi

Dalam rapat dengar pendapat dengan para pemain telekomunikasi di Indonesia, anggota dewan di Komisi I mempertanyakan apa yag membuat kisruh dari interkoneksi ini. Ternyata, dari pemaparan enam operator telekomunikas, mulai dari Telkom, Telkomsel, XL, Indosat, Smartfren, dan Hutchison 3 Indonesia (H3I), hampir semua menyatakan tidak keberatan dengan besaran Rp204 per menit untuk panggilan lokal dan Rp304 untuk panggilan jarak jauh.

“Interkoneksi memang berperan penting dalam industri telekomunikasi karena di sini iklimnya adalah multioperator dan komunikasi ke jaringan lain lebih banyak dilakukan. Untuk itu penetapannya harus tepat untuk menjaga pertumbuhan industri. Kami mendukung keputusan ini walaupun masih jauh dari harapan kami, yang kami propose sebesar Rp65 per menit. Namun lebih penting adalah keputusan mengenai kapan biaya ini bisa diimplementasi,” kata Direktur Utama XL Axiata, Dian Siswarini.

Hal yang sama juga dikatakan Dirut Indosat Ooredoo, Alex Rusli. Dia mencurahkan isi hatinya kepada anggota dewan di Komisi I mengenai bisnis Indosat yang kerap merugi di luar Jawa karena sulitnya melawan dominasi Telkomsel. Interkoneksi diklaimnya sebagai barrier yang menyebabkan hal itu. Jika ini terus terjadi, besar kemungkinan jika Telkomsel, yang disebut sebagai ‘Kakak Besar’, akan menguasai 100 persen pasar di luar Jawa.

“Jika biaya interkoneksi rendah, kami bisa kreatif mengeluarkan produk yang bervariasi. Kami punya program Rp1 per detik tapi kami harus subsidi Rp187 per menit ke pelanggan karena biaya interkoneksi ini. Dari laporan keuangan, Telkomsel selalu bisa meraih revenue sampai Rp20 triliun per tahun. Jadi beri kami kesempatan untuk bersaing dan bisa besar seperti mereka,” ujar Alex, yang mengaku sempat mengajukan biaya interkoneksi Rp86,7 per menit.

Sedangkan Smartfren dan H3I, mengaku tidak terlalu mengalami efek signifikan terhadap penurunan biaya interkoneksi. Keduanya mengaku sudah nyaman dengan pendapatan dari layanan data. Sedangkan biaya interkoneksi hanya berpengaruh terhadap layanan suara dan SMS, yang notabene hanya berkontribusi kurang dari 5 persen terhadap revenue per tahun. Namun demikian mereka mengakui ada banyak keuntungan positif yang bisa didapat dari turunnya biaya interkoneksi.

“SMS dan voice masih dibutuhkan beberapa pelanggan di luar Jawa. Jika interkoneksi turun, secara tidak langsung juga akan menurunkan tren penggunaan sim card ganda,” kata Wakil Direktur H3I, Danny Buldansyah.

Sayangnya, tidak demikian dengan apa yang dirasakan Telkomsel. Perusahaan telko incumbent itu mengaku akan menjadi yang paling dirugikan jika biaya interkoneksi turun. Hal ini dikarenakan mereka telah mengeluarkan biaya investasi yang mahal demi membuat seluruh warga Indonesia bisa saling terhubung dan berkomunikasi.

Pemerintah,  kata Dirut Telkomsel, Ririek Adriansyah, menggunakan adjustment dalam menghitung biayayang baru. Telkomsel melaporkan utilisasi BTS di berbagai pelosok baru 20 persen tapi pemerintah mengasumsikan 80 persen. Ada juga channel data rate, pemerintah sebutkan Telkomsel punya 0,1 Mbps padahal kenyataannya 0,8 sampai 1,2 Mbps.

“Jika melihat fakta di lapangan, interkoneksi harusnya Rp285 per menit tapi ini cuma Rp204 per menit, berbeda 28 persen. Ini tidak sesuai dengan cost recovery yang sebenarnya sehingga akan merugikan operator,” kata Ririek Adriansyah kepada anggota dewan komisi I saat RDP. Pernyataan ini dibela Dirut Telkom, Alex Sinaga. Sebagai induk usaha Telkomsel, dia menyebut bahwa dengan besaran biaya baru ini maka aka nada yang diuntungkan dan dirugikan.

Komitmen Asing Bangun Jaringan

Kekhawatiran Telkomsel memang cukup beralasan. Meski laporan keuangan menunjukkan revenue yang selalu untung, namun tidak bisa dipungkiri, perusahaan plat merah itu selalu membangun jaringan, bahkan hingga ke pelosok dan perbatasan Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut memang tidak pernah menjadi lahan bisnis yang menarik bagi operator lain.

Anggota DPR di Komisi I, Budi Youyastri bahkan membenarkan hal ini. Dia menceritakan pengalamannya saat berada di daerah pesisir, Pangandaran. Di wilayah itu, sulit mencari sinyal seluler, kecuali menggunakan jaringan Telkomsel.

“Di sana tak ada XL, sinyal Indosat pun antara ada dan tiada. Sepertinya wajar jika Telkomsel memiliki cost recovery yang tinggi karena ketahuan komitmennya dalam membangun cakupan komunikasi ke seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya maunya bangun di kota besar saja. Sehingga harusnya ada komitmen dari operator lain. Jika biaya interkoneksi turun, komitmen pembangunannya bagaimana,” ujar Budi.

Mengenai pembangunan jaringan yang pilah pilih tersebut memang tidak ditampik oleh Danny Buldansyah. Dia mengakui ada beberapa operator yang mematikan jaringan di sebuah wilayah hanya karena dianggap tidak menguntungkan.

Menurut data yang dipaparkan Ririek, Telkomsel telah mengoperasikan lebih dari 120 ribu BTS dan menjangkau 95 persen populasi. Bahkan dirinya optimis bisa membantu mewujudkan target pemerintah dalam Indonesia Broadband Plan 2019 yang menginginkan lebih dari 70 persen populasi di Indonesia terkoneksi. Yang terakhir adalah penancapan infrastrukrut di kabupaten Alor, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.

“Total ada 627 BTS yang berlokasi di perbatasan dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, Timor Leste, Australia, Filipina, dan Papua Nugini. Target berikutnya adalah Kepulauan Anambas dan Kepulauan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan,” kata Ririek optimis.

Jangan lupa juga, Telkomsel merupakan BUMN yang berkontribusi besar dalam memberikan pendapatan ke negara. 

Sekadar Informasi, biaya interkoneksi dibayarkan operator jika ada panggilan dari pelanggannya ke pelanggan operator lain. Biaya ini penting menjadi standard karena operator yang berinterupsi dengan operator lain tidak dapat mengontrol panggilan pelanggannya, yang telah diserahkan ke operator lain.

Di sisi lain, sebagai pemilik panggilan end to end, operator juga harus menjamin kualitas dan tarif, tarif pungut bisa bergantung pada biaya interkoneksi itu.  Proses perhitungan panjang sejak 2015, yang menggunakan payung hukum Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi itu, menghasilkan penurunan biaya interkoneksi secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler dan telepon tetap itu sekitar 26 persen.

“Hasil perhitungan biaya interkoneksi ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2016 sampai dengan Desember 2018 dan dapat dievaluasi oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) setiap tahunnya,” ungkap Menkominfo Rudiantara, yang dalam kalkulasinya mengharapkan tarif ritel seluler turun 15 sampai 30 persen.

Dilema ada di tangan Menkominfo. Mau menguntungkan konsumen dan operator yang kebanyakan sahamnya dimiliki asing, yang belum terlihat komitmennya membangun jaringan, atau membantu perusahaan pemerintah tumbuh untuk tetap memenuhi pundi-pundi negara yang sekaligus membuat semua warga Indonesia mendapatkan keadlian dalam hal komunikasi. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya