SOROT 398

Derita Manusia Kelas Dua

Ilustrasi perkosaan
Sumber :
  • VIVAnews/Adri Prastowo

VIVA.co.id – Bangunan itu berdiri persis di tepi jalan salah satu desa di Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur. Dinding bangunan terbuat dari anyaman bambu yang lazim disebut gedek.

Polisi Usut Dugaan Pelecehan Seksual yang Dilakukan Eks Ketua DPD PSI Jakbar

Sementara itu, bagian atap menggunakan asbes. Tak ada semen, tegel, apalagi keramik. Hanya tanah yang menjadi lantai bangunan seluas sepertiga lapangan bulu tangkis ini.

"Rumah" yang memanjang itu dibelah menjadi dua. Di sisi kiri, ada sebuah meja kusam yang berada di pojok ruangan. Peralatan memasak tampak berserakan di atasnya.

Lakukan Pelecehan Seksual pada Penumpang Angkot, Sopir di Aceh Dihukum Cambuk 154 Kali

Sementara itu, di sisi kanan terlihat dua tempat tidur yang terbuat dari bambu. Dua ruangan ini hanya dipisah lemari dan meja kecil. Televisi 21 inci yang bertengger di atas meja kecil tersebut menjadi satu-satunya "barang mewah" di rumah ini.

Awalnya, bangunan ini adalah kandang bebek. Namun, oleh si empunya, Zainul, kandang ini disulap jadi tempat tinggal, lantaran ada warga yang meminta untuk tinggal di kandang bebeknya tersebut.

5 Negara Dengan Kejahatan Pemerkosaan Tertinggi di Dunia, Ada Indonesia?

Adalah seorang ibu berinisial SR yang memohon agar diperbolehkan tinggal di kandang yang baru diperbaiki ini. Sebab, ibu dua anak ini diusir dari kontrakannya gara-gara NR, anak gadisnya yang masih berusia 14 tahun mengandung di luar nikah.

Nur Azizah, keponakan Zainul, menuturkan, keluarga NR mulai tinggal di kandang tersebut sejak dua bulan lalu. Menurut dia, NR diusir dari kontrakan setelah diketahui berbadan dua.

Ia dan pamannya kasihan, sehingga mengizinkan kandang bebek itu dijadikan tempat tinggal sementara.

Selanjutnya...Korban Perkosaan

Baca juga:

Sorot Bagian 2:

Sorot Bagian 3:

Korban Perkosaan

Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah nasib yang menimpa NR dan keluarganya. Gadis yang masih belia ini diusir oleh warga gara-gara berbadan dua akibat dirudapaksa. Ia hamil karena diduga diperkosa oleh S (46) dan U (21), warga desa setempat.

Kala Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa menjenguknya, NR hanya menunduk dan diam di pelukan aktivis perempuan yang mendampinginya. Duduk di tepi ranjang bambu, mata NR nanar dengan tatapan kosong.

Sementara itu, ibunya menangis histeris. Hampir setengah jam ibu yang malang ini sesenggukan di pelukan Khofifah. Pengakuan korban, ia pernah melaporkan kasusnya ke Polres setempat pada Desember 2015.

“Tapi, rupanya tidak di-follow up,” kata Khofifah beberapa waktu lalu.

Tak ingin dinilai lamban, polisi bergerak cepat. Hasilnya, satu di antara dua pelaku, yakni S, berhasil dibekuk di Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Selasa malam, 24 Mei 2016. S pun langsung ditetapkan sebagai tersangka dan digelandang ke dalam tahanan.

Informasi yang diperoleh dari Polres Sidoarjo menyebutkan, berdasarkan keterangan korban, saat diperkosa, tersangka mengikat tangannya dengan tali rafia dan mulutnya dibungkam oleh S. Usai disetubuhi, tersangka mengancam akan membunuh korban jika bercerita kepada orangtuanya.

Tersangka menyetubuhi korban lebih dari sekali, dalam rentang bulan Juni hingga November 2015.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/28/5748de82c2909-kandang-bebek-yang-jadi-tempat-tinggal-korban-kekerasan-seksual_663_382.jpg

Kandang bebek yang jadi tempat tinggal korban kejahatan seksual. FOTO: VIVA.co.id/Nur Faishal

“Tersangka S pertama kali menyetubuhi korban pada Juni 2015, sekitar pukul 13.00 WIB, saat istrinya bekerja. Tersangka memerkosa korban tiga kali,” kata Kepala Polres Sidoarjo, Ajun Komisaris Besar Polisi M Anwar Nasir, Rabu, 25 Mei 2016.

Dia menjelaskan, ibu korban melaporkan kasus itu ke Polres Sidoarjo pada 30 Desember 2015. Saat kasus tengah diusut, ada rapat mediasi di desa setempat antara keluarga korban dengan pihak tersangka. Aparat desa memfasilitasi agar masalah pencabulan itu diselesaikan secara kekeluargaan.

Hasil mediasi, disepakati kedua tersangka membayar ganti rugi kepada pihak keluarga korban. Berdalih mencari kerja untuk mengumpulkan uang pengganti, tersangka S dan U pergi ke luar kota. “Tapi, rupanya itu dimanfaatkan tersangka untuk melarikan diri.”

Selanjutnya...Darurat Kejahatan Seksual

Darurat Kejahatan Seksual
Kasus yang menimpa NR, hanya satu contoh kecil dari banyak kasus kejahatan seksual di Indonesia. Kapal Perempuan, sebuah lembaga yang peduli pada isu perempuan menyatakan, kasus perkosaan yang belakangan marak merupakan fenomena "gunung es".

Direktur Kapal Perempuan, Misiyah mengatakan, kasus-kasus serupa sebenarnya mungkin sudah marak sejak lama. Menurut dia, kejahatan seksual merupakan kejahatan berbasis gender.

”Seorang diperkosa karena dia berjenis kelamin perempuan. Maka penyebab paling utamanya adalah kuatnya cara pandang terhadap perempuan sebagai objek seksual,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Mei 2016.

Menurut dia, kasus kejahatan seksual grafiknya terus meningkat tiap tahun. Bahkan, peningkatannya ada yang mencapai 163 persen, yaitu pada 2008-2009. “Saya setuju dengan pernyataan Presiden bahwa kejahatan seksual merupakan kejahatan luar biasa,” tuturnya.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, angka kasus kejahatan seksual terus meningkat. Ketua Komnas Perempuan, Azriana sependapat dengan Misiyah, kekerasan seksual seperti fenomena gunung es.

“Karena yang tidak terungkap bisa jadi lebih banyak dari yang terungkap,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Mei 2016.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2015/08/30/333330_mensos-khofifah-indar-parawansa-_663_382.jpg

Korban kekerasan seksual pernah melaporkan kasusnya ke polres setempat. “Tapi, tidak di-follow up,” kata Mensos  Khofifah Indar Parawansa.

Berkaca dari data, ada kecenderungan korban kekerasan seksual semakin banyak menimpa anak-anak. Selain itu, anak berpotensi jadi pelaku kekerasan seksual. “Ini sudah darurat. Korbannya juga beberapa kasus masih anak-anak. Itu bisa jadi indikasi kedaruratan,” katanya.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, mengatakan, kasus kekerasan seksual yang menimpa anak trennya memang meningkat. Menurut dia, data yang masuk di KPAI dari lembaga lain termasuk kepolisian tak merepresentasikan fakta sesungguhnya. Sebab, banyak kasus kejahatan seksual yang tidak dilaporkan.

“Hal itu terjadi karena banyak faktor. Misalnya malu, merasa kalau melapor itu aib, tidak yakin dengan proses hukum yang ada, faktor geografis, faktor tidak tahu. Dalam beberapa kasus, faktor ketidaknyamanan membuat mereka tidak mau berurusan dengan proses hukum,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Mei 2016.

Arist Merdeka Sirait menyampaikan hal senada. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) ini mengatakan, kasus kejahatan seksual tak hanya meningkat namun juga sangat genting. “Sampai saat ini di Komnas PA sudah ada 349 pelaporan kejahatan seksual yang masuk, dari Januari sampai Mei,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Mei 2016.

Rahayu Saraswati D. Djojohadikusumo sependapat. Anggota Komisi VIII DPR RI ini mengatakan, untuk negara yang berideologi Pancasila dan menyebut Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama, kondisi saat ini dapat dianggap darurat kejahatan seksual.

“Kejahatan seksual ini menjadi fenomena gunung es. Karena masih berhubungan dengan stigma dan tanggapan masyarakat yang sering kali tidak mendukung korban,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Mei 2016.

Menurut dia, maraknya kasus kejahatan seksual karena masyarakat buta hukum. Selain itu, terkait masalah ekonomi dan sosial. Sistem ekonomi yang liberal yang tidak pro-rakyat mengakibatkan tingginya angka pengangguran dan membuat kemiskinan meningkat.

“Merasa sulit untuk memenuhi fungsi sosialnya, banyak yang melampiaskan dengan cara-cara yang negatif. Salah satunya dengan kekerasan terhadap sesama,” ujar anggota dewan asal Partai Gerindra ini.

Selain itu, kurangnya implementasi penegakan hukum yang adil membuat pelaporan minim dan hal ini membuat para pelaku bebas melakukan kekerasan seksual secara berulang.

Selanjutnya...Warga Negara Kelas Dua

Warga Negara Kelas Dua
Ungkapan senada disampaikan Misiyah. Menurut dia, lemahnya perlindungan hukum, baik dari sisi undang-undang maupun penegakan hukum membuat kasus-kasus kejahatan seksual terus berulang.

Selain itu, kuatnya budaya patriarki yang menganggap perempuan di bawah otoritas laki-laki juga dituding sebagai biang keladi terkait maraknya kasus pemerkosaan. Hal itu mengakibatkan minimnya kesadaran dan dukungan publik terhadap penanganan kasus-kasus kejahatan seksual.

“Masalah ini dianggap personal, tabu, dan seringkali korban disalahkan, sehingga korban dan keluarganya menutup diri serta tidak berani mengungkapkan kasusnya,” ujarnya.

Hal yang sama disampaikan Azriana. Menurut dia, maraknya kasus kejahatan seksual tidak terlepas dari konstruksi masyarakat terhadap perempuan. Menurut dia, di Indonesia, perempuan cenderung dilihat sebagai manusia kelas dua.

“Dalam konteks itu, perempuan dilihat sebagai objek dari seksualitas dan alat untuk menunjukkan kekuasaan. Dalam konteks ini kekerasan seksual terjadi,” dia menambahkan.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Ratna Batara Murti mengatakan, kejahatan seksual terus terjadi karena sistem hukum dan sosial budaya Indonesia masih memberikan peluang hal itu terjadi. Senada dengan Azriana dan Misiyah, ia mengatakan, dalam konteks sosial budaya, Indonesia masih menempatkan perempuan sebagai objek seksual.

“Ironisnya, hukum kita turut melanggengkan dengan tidak memberikan perlindungan dan pencegahan, justru sebaliknya merevictimisasi korban,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Mei 2016.

Sementara itu, menurut Latiefah Widuri Retyaningtyas, kejahatan seksual terus meningkat karena negara melanggengkan kekerasan. “Jadi, tidak ada upaya yang serius untuk menuntaskan kasus kejahatan seksual,” ujar Koordinator Kampanye Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual ini kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Mei 2016.

Ia mencontohkan kasus kekerasan seksual yang terjadi menjelang Reformasi tahun 1998. “Perkosaan pada warga etnis Tionghoa tak terselesaikan dan tidak akui. Apalagi kejahatan seksual yang tiap tahun meningkat.”

Selanjutnya...Perppu Kebiri

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/27/5748492114b26-presiden-joko-widodo-memberikan-keterangan-pers-di-bandara-nagoya-jepang_663_382.jpg

Presiden Joko Widodo baru saja menandatangani Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang perlindungan anak.

Perppu Kebiri
"Saya baru saja menandatangani Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 25 Mei 2016.

Presiden mengatakan, pemerintah telah menetapkan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Sebab, kejahatan itu dapat mengancam dan membahayakan jiwa anak. Untuk itu, dalam Perppu diatur mengenai pidana pemberatan, pidana tambahan, dan tindakan lain bagi pelaku.

Pemberatan pidana berupa tambahan pidana sepertiga dari ancaman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati pun masuk dalam pemberatan pidana.

Selanjutnya, untuk tambahan pidana yang diatur ialah pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. "Agar menimbulkan efek jera terhadap pelaku," dia menegaskan.

Juru Bicara Presiden, Johan Budi mengatakan, Perppu Kebiri merupakan respons pemerintah terkait maraknya kasus kejahatan seksual, khususnya yang menimpa anak. “Artinya bahwa kejadian-kejadian itu bisa jadi karena punishment-nya belum berat. Dan itu direspons Presiden dan terbitlah perppu,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Mei 2016.

Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Wahyu Hartomo mengatakan, kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es. Untuk itu ia berharap, dengan dikeluarkan perppu akan menciptakan efek jera bagi pelaku.

“Ini kuncinya di aparat penegak hukum, karena ini sudah kuat. Kalau seumur hidup atau mati, ya harus maksimal,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 27 Mei 2016.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani mengatakan, beleid yang baru saja diteken Presiden tersebut merupakan komitmen kepala negara dan pemerintah bahwa tindak pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa.

“Kekerasan itu hukumannya harus bisa memberikan efek jera.”

Namun, asumsi itu dibantah sejumlah aktivis perempuan. Latiefah misalnya. Menurut dia, kebiri dan hukuman mati tak akan efektif dan tidak bisa memberi efek jera kepada pelaku. Sebab, kekerasan seksual bisa terjadi dengan cara apa pun.

Menurut dia, perkosaan bisa dengan bagian tubuh mana pun. “Jadi, kebiri bukan hukuman yang pas bagi pelaku,” ujarnya.

Selain itu, kebiri dan hukuman mati akan memperbesar ruang intimidasi bagi korban. Karena, ketika korban perkosaan mau melapor, bisa saja keluarga pelaku mengintimidasi korban karena tak ingin pelaku mendapatkan hukuman.

“Lalu, kalau pelakunya orang terdekat korban. Misalnya ayah. Dia semakin ragu melaporkan karena takut ayahnya dihukum mati,” dia menambahkan.

Penolakan juga disampaikan Misiyah. Ia sepakat pelaku kejahatan seksual dihukum berat, namun bukan dengan dikebiri. “Tak setuju dengan kebiri. Setuju dengan hukuman seberat-beratnya, namun tidak melanggar HAM,” ia menegaskan.

Azriana mengatakan, sebenarnya tidak ada yang baru dalam perppu tersebut, kecuali kebiri dan pemasangan chip. Menurut dia, di dalam undang-undang, hukuman bagi pelaku kejahatan seksual sebenarnya sudah berat.

Namun, implementasinya yang ringan. Menurut dia, hukuman kebiri masuk ke dalam hukuman yang dilarang. Sebab, Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan. “Hukuman mati dan kebiri dianggap kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan. Kita tidak perlu hukuman kebiri kalau kita serius tegakkan hukuman yang sudah ada.”

http://media.viva.co.id/thumbs2/2015/08/01/327889_arist-merdeka-sirait-_663_382.jpg

Arist Merdeka Sirait mengatakan hukuman kebiri dan suntik kimia akan membuat pelaku kejahatan seksual jera.

Pendapat berbeda disampaikan Arist Merdeka Sirait. Menurut dia, saat ini hukuman bagi pelaku kejahatan seksual masih ringan, sehingga tak menimbulkan efek jera. Untuk itu, ia menyambut baik terbitnya Perppu Kebiri. “Hukuman kebiri dan suntik kimia saya rasa akan membuat mereka jera,” ujar Arist.

KPAI juga mendukung langkah Presiden. Wakil Ketua KPAI, Susanto mengatakan, Presiden melakukan langkah tepat dengan mengeluarkan perppu, mengingat kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa. Kejahatan ini mengancam dan membahayakan jiwa serta tumbuh kembang anak. Bahkan mengancam kemanusiaan.

“Perppu ini menemukan urgensinya untuk mengatasi kegentingan atas fenomena kejahatan seksual terhadap anak yang semakin meningkat signifikan. Tentu tidak fair kalau korbannya meninggal, dimutilasi, pelaku hanya dihukum 15 tahun, atau 20 tahun.”

Selanjutnya...Mengedepankan Pencegahan

Mengedepankan Pencegahan
Latiefah mengatakan, pemerintah seharusnya tak melulu bicara penindakan, namun abai terhadap pencegahan. Menurut dia, salah satu bentuk pencegahan adalah dengan menjelaskan apa saja bentuk kekerasan seksual dan pencegahannya.

Selain itu, harus memperhatikan soal rehabilitasi. “Karena pidana penjara tidak cukup mengubah kesadaran pelaku dan mayoritas masyarakat. Karena korban perkosaan justru kerap disalahkan,” ujarnya.

Selain itu, masyarakat diminta tak lagi menghakimi perempuan dan tak memandang perempuan sebagai objek seksual. “Harus ada pendidikan seksualitas yang berkeadilan gender.”

Sementara itu, menurut Misiyah, yang pertama dilakukan adalah memberikan perlindungan hukum yang kuat dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan merevisi pasal-pasal di KUHP yang melemahkan korban.

“Hapus peraturan-peraturan yang mendiskriminasi perempuan,” ujarnya.

Kedua, mengefektifkan layanan korban untuk pencegahan, penanganan, pemulihan korban yang peka terhadap situasi korban. Ketiga, memberikan pendidikan publik untuk membangun kesadaran terhadap masalah kejahatan seksual, baik yang terintegrasi dalam kurikulum sekolah formal maupun dalam pendidikan masyarakat di luar sekolah.  

Wahyu mengklaim, sambil menunggu pelaksanaan perppu, KPPPA terus meningkatkan upaya pencegahan. Salah satunya dengan melatih jaksa agar peduli dan memihak anak. Selain itu, KPPPA akan melatih satgas provinsi untuk menangani korban dan pendampingan.

“Maunya kita ada gerakan nasional, seluruh lapisan. Karena ini sudah luar biasa kegentingannya. Pencegahan dan pelayanan kita kuatkan. Kita kuatkan kelembagaan Satgas dan kerja sama dengan unit pelayanan perempuan dan anak,” tuturnya.
 
Menurut Azriana, kasus kekerasan seksual tak bisa ditangani secara parsial. Selain mengedukasi publik terkait perlindungan, penanganan dan pencegahan, pemerintah harus memastikan penegakan hukum terhadap pelaku berjalan seoptimal mungkin. Apalagi jika pelakunya adalah orang-orang yang punya jabatan dan berkuasa.

“Selain optimalisasi penegakan hukum juga harus dikuatkan upaya pemulihan korban,” ujarnya.

Pemerintah juga diminta menyiapkan regulasi yang bisa melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual. Sebab, regulasi yang ada belum menjawab kebutuhan.

“Regulasi bukan hanya soal penghukuman apalagi melanggar HAM. Tapi regulasi yang bisa memastikan korban mudah mendapatkan akses terhadap pemulihan,” katanya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya