BI Siapkan Disinsentif Bagi Bank yang Malas Kasih Kredit

Seorang petugas bank menghitung uang rupiah.
Sumber :
  • Antara

VIVA.co.id – Bank Indonesia mengungkapkan kalangan perbankan cenderung masih mengambil sikap hati-hati dalam memberikan penyaluran kredit untuk menghindari risiko kredit bermasalah. Apalagi sikap itu terjadi di tengah perlambatan perekonomian nasional, sehingga menyebabkan pertumbuhan kredit perbankan melambat.

OJK: Pertumbuhan Kredit Perbankan 2022 Ditopang Kredit Investasi

Direktur Departemen Kebijakan Makro Prudential Bank Indonesia, Yati Kurniati, mengungkapkan hal ini tercermin dari data pertumbuhan kredit perbankan hingga akhir kuartal pertama tahun ini yang hanya sebesar 8,71 persen. Apalagi, diperburuk dengan adanya peningkatan rasio kredit bermasalah NPL pada akhir kuartal pertama tahun ini yang naik menjadi 2,83 persen.

"Data itu menunjukkan korelasi antara pertumbuhan NPL meningkat dan pertumbuhan kredit yang menurun,” kata dia di gedung BI Jakarta, Jumat, 27 Mei 2016.

OJK Catat Kredit Perbankan Tumbuh, Tapi DPK Turun Rp 7.608 Triliun

Dia juga menyatakan, dari suatu survei, pihaknya menemukan bahwa perbankan lebih mencenderung menyalurkan kredit hanya kepada nasabah yang sudah mendapatkan kredit saja, baik dari banknya atau pun bank lain. Hal ini, disebabkan adanya sikap kehatian-hatian yang diambil para perbankan dalam penyaluran kredit.

Tidak hanya itu, banyak juga perbankan memiliki rasio pinjaman terhadap simpanan (LFR) di bawah batas ketentuan yakni 78-92 persen. Padahal, BI telah menaikan LFR menjadi 94 persen. Menurut Yati, bank tersebut tergolong malas melakukan intermediasi.

Kenaikan Harga Komoditas Bantu Kinerja Perbankan Nasional

"Mereka lebih suka mengandalkan pendapatan non bunga. Kami akan kaji disinsentif terhadap bank yang demikian," lanjut Yati.

Yati mengungkapkan, perbankan “malas” tersebut datang dari beberapa bank yang masuk kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) III dengan modal inti Rp1 triliun hingga Rp5 triliun dan BUKU II dengan modal inti Rp5 triliun hingga Rp30 triliun.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya