SOROT 383

Menelisik Jilbab Halal MUI

Sertifikat halal Zoya
Sumber :
  • VIVA.co.id/Linda Hasibuan

VIVA.co.id – Beberapa waktu lalu, jagat maya riuh dengan beredarnya foto yang memuat papan reklame tentang jilbab atau kerudung bagi wanita muslim. Reklame berukuran tiga kali lima meter dengan latar utama warna hitam itu memuat kalimat provokatif: “Yakin hijab yang kita gunakan halal?”
Ukuran tanda tanya pada kalimat itu tiga kali lebih besar dibanding ukuran hurufnya.

Perjalanan Stempel Halal MUI

Logo Zoya terpampang dalam reklame dengan keterangan “kerudung bersertifikat halal pertama di Indonesia” pada bagian kiri bawah. Ditempel juga logo Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sebelah kanan. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tersebar poster berlogo Zoya yang menampilkan pesohor Laudya Cynthia Bella yang mengenakan kerudung merah. Tak ketinggalan, logo MUI juga menempel di poster tersebut.

Strategi Pemasaran

Produk Delapan Tahun

Jilbab Zoya adalah salah satu merek keluaran PT Shafira Corporation. Perusahaan yang berbasis di Bandung, Jawa Barat ini memiliki dua merek produk serupa, yakni Shafira dan Zoya. Merek pertama baru tersebar di 26 gerai di Indonesia. Sementara Zoya sudah ada di 120 gerai se-Nusantara.

PT Shafira Corporation memproduksi kerudung dengan berbagai model dan variasi yang kemudian dilabeli Zoya. Bahan baku kainnya adalah bikinan PT Central Georgette Nusantara (CGN).

MUI Pastikan Sertifikasi Halal Tak Hambat Usaha Bisnis

Perusahaan ini menepis tudingan sebagian kalangan yang menyebut, iklan yang menampilkan sertifikat halal dari MUI itu adalah strategi pemasaran semata. Menurut mereka, sertifikat itu bertujuan memberikan rasa aman dan nyaman kepada konsumen agar tak waswas mengenakan jilbab. Pasalnya, berjilbab bukan sekadar berbusana, tetapi yang terpenting adalah memenuhi perintah agama, menutup aurat.

Dasar pemikiran lain dalam sertifikasi halal produk Zoya adalah mematuhi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2104 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam Pasal 1 pada undang-undang itu disebutkan produk apa saja yang wajib dijamin kehalalannya: “… barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.” Kerudung Zoya termasuk dalam barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

“Jadi, sebagai perusahaan, kami mematuhi undang-undang tersebut. Sebagai perusahaan, Zoya harus memastikan kain yang digunakan sebagai kerudung dan busananya aman, nyaman, dan dalam proses pembuatannya sesuai syariat Islam,” kata Creative Director Shafira Corporate, Sigit Endroyono kepada VIVA.co.id, Rabu, 10 Februari 2016.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/02/11/365031_laudya-cynthia-bella--brand-ambassador-zoya_663_382.jpg

Iklan produk jilbab Zoya bersertifikat halal.

Dia mengakui, iklan yang dinilai kontroversial itu telah menaikkan penjualan kerudung Zoya 10 persen dari sebelumnya. “Walau pun sebenarnya hal tersebut bukan menjadi tujuan kami,” ujarnya menambahkan.

Dia berasumsi, kenaikan penjualan itu sesungguhnya bukan karena iklan, melainkan lebih karena konsumen merasa lebih aman ketika mengenakan produk yang sudah dijamin halal. “Karena customer (pelanggan) Zoya merasa terlindungi dan nyaman dengan upaya yang kami perjuangkan,” ujarnya berkilah.

Menurut dia, pada dasarnya semua jilbab halal dan baik. Jilbab menjadi tidak halal ketika, misalnya, proses pembuatan atau pencucian bahan bakunya tak suci atau terpapar najis. Maka, Zoya berinisiatif memastikan produknya bebas najis sehingga aman dikenakan untuk sehari-hari atau untuk beribadah.

Dia menuturkan, sertifikat halal itu tak mudah diperoleh. Menurut dia, MUI terlebih dahulu memeriksa dan menguji bahan baku kain kerudung Zoya. Semua diperiksa dengan detail untuk memastikan produk itu dibuat sesuai syariat Islam hingga dinyatakan lulus uji, lalu terbit sertifikat halal pada 19 Oktober 2014.

Ia mengatakan, untuk mendapatkan label halal itu, perusahaanya harus merogoh kocek hingga tiga juta rupiah. Menurut dia, saat ini perusahaannya juga sedang memproses sertifikat halal dari MUI untuk produk lainnya. Namun, dia menolak menyebutkan.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik MUI, Lukmanul Hakim mengatakan, MUI sejatinya menerbitkan sertifikat halal untuk PT Central Georgette Nusantara, perusahaan yang memproduksi kain yang, di antaranya, dipakai untuk kerudung Zoya. “Jadi, (sertifikat halal) bukan (untuk) produsen kerudungnya,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 11 Februari 2016.

Ia mengaku mendapat informasi, Shafira Corporation meminta sertifikat kepada PT Central Georgette Nusantara sebagai bukti bahwa kerudung Zoya memang halal, sebagaimana disahkan MUI. Namun menurut dia, MUI tak lagi punya kewenangan untuk membenarkan atau mengoreksi hal itu.

Meski demikian, ia mengapresiasi Shafira Corporation melalui iklan produk Zoya sebagai bagian dari pendidikan kepada masyarakat agar khalayak juga mengerti suci atau najis sebuah produk, terutama yang berhubungan erat dengan ibadah wajib. “Meski pada konteks yang lain, Zoya belum bersertifikat halal,” ujarnya menambahkan.

Amanat UU JPH

Lukmanul menyatakan, sertifikasi halal bukan mengkomersialkan label halal, tetapi melindungi umat Islam dari produk yang tak halal. Lagi pula, biaya sertifikasi di MUI paling mahal cuma lima juta rupiah, untuk perusahaan atau kalangan usaha menengah ke bawah. Menurut dia, nilai itu jauh lebih murah dibanding proses sertifikasi ISO yang mencapai ratusan juta rupiah.

Dia menjelaskan, sertifikasi halal merupakan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2104 tentang Jaminan Produk Halal, bukan inisiatif atau kebijakan internal MUI. Seperti disebutkan dalam pasal 1 pada beleid  tersebut, produk yang mesti disertifikasi halal tak cuma makanan dan minuman, tetapi semua yang termasuk dalam barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Kerudung, kata Lukmanul, termasuk barang gunaan yang dipakai masyarakat, terutama wanita muslim. Busana itu, serupa jenis pakaian lain, memang perlu dijamin kesuciannya atau dipastikan tak terpapar maupun mengandung najis karena bisa saja dikenakan untuk salat.

“Zoya mengklaim dirinya (produknya) halal, padahal belum bersertifikat halal. Dia (Zoya) alasannya pakai bahan yang halal. Apakah memang dalam prosesnya tidak dijahit. Apakah penggunaan benangnya itu menggunakan benang yang clear (bebas najis) juga. Kita (MUI) belum tahu,” ujarnya.

“Dalam proses pembuatan benang ada emulsifikasi, glatinisasi, dan lain-lain. Itu membuat benang. Kain, kan, pasti ada jahitannya. Jadi enggak melulu kainnya tapi benangnya. Untuk tahu bagaimana (najis atau suci), MUI memandang memang sertifikasi terhadap kain itu perlu.”

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/02/09/364562_konferensi-pers-zoya-di-bandung_663_382.jpg

Zoya saat menggelar konferensi pers di Bandung

MUI Berlebihan

Kementerian Agama (Kemenag) memahami langkah MUI dalam penerbitan sertifikasi halal yang tak cuma untuk produk makanan dan minuman. Karena, itu memang amanat Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal. MUI dianggap memiliki kewenangan atau otoritas untuk melakukan sertifikasi itu, sepanjang belum ada Badan Jaminan Produk Halal (BJPH).

Namun, masalah sesungguhnya bukan pada kewenangan tapi tingkat kegawatan hingga semua produk yang termasuk dalam barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat wajib disertifikasi.

Kemenag memandang, sementara ini yang penting atau prioritas untuk disertifikasi halal adalah produk makanan dan minuman serta obat-obatan. Karena itu, sertifikasi untuk semua produk yang dipakai atau dimanfaatkan masyarakat dinilai berlebihan dan mubazir.

“Kalau begitu (semua wajib disertifikasi halal), nanti sepatu, sandal, dan lain-lain (harus dijamin suci dan halal) jadi ribet (rumit). Saya rasa berlebihan,” kata Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Machasin, kepada VIVA.co.id, Kamis, 11 Februari 2016.

Pendapat senada disampaikan Nahdlatul Ulama (NU). Menurut ormas Islam terbesar di Indonesia ini, memberikan sertifikat halal pada produk pakaian semacam jilbab sejatinya tak terlalu penting. “Kalau (sertifikasi halal) kepada jilbab, rasanya tidak tepat, tidak pada tempatnya,” ujar Sekretaris Jenderal NU, Helmy Faishal Zaini.

Dia juga mengkritik kewenangan sertifikasi halal yang dimonopoli MUI. Karena menurut dia, lembaga itu sesungguhnya tak beda dengan NU maupun Muhammadiyah, yakni sama-sama organisasi massa Islam. NU berharap diberi kewenangan menerbitkan sertifikat halal. Namun, sejauh ini belum terwujud dan seolah ada anggapan MUI lebih otoritatif.

“Memang kita sudah menyiapkan juga badan halal. Jadi kita (NU) meminta otoritas halal itu tidak semata MUI. Kita juga memiliki banyak sumber daya, laboratorium juga sudah kami siapkan untuk uji halal. Dalam waktu dekat akan kita umumkan badan halal kita.”

Kritik pedas juga dilontarkan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. MUI memang diberi kewenangan menerbitkan sertifikat halal. Tetapi, langkah itu akan mengesankan beragama Islam hanya urusan formalistik, melulu urusan ritual ibadah. “Padahal, ber-Islam itu tidak harus semuanya formalistik,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir kepada VIVA.co.id, Kamis, 11 Februari 2016.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/02/12/56bdee1fa01c1-ketua-umum-pp-muhammadiyah-haedar-nashir_663_382.jpg

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, mengatakan, jilbab memang perintah syariat Islam bagi wanita muslim. Namun, lebih penting dari adalah pembinaan akhlak.

Haedar berpendapat, jilbab memang perintah syariat Islam bagi wanita muslim. Namun, lebih penting dari sekadar jilbab adalah pembinaan akhlak. Karena, Islam diturunkan demi memperbaiki budi pekerti masyarakat, moral manusia. “Kalau mau buat tuntunan, ya, silakan MUI buat tuntunan, bagaimana petunjuk penggunaan jilbab yang syar’i (sesuai syariat Islam). Lalu itu disosialisasikan dan dibina terus, kemudian dikembangkan di pengajian-pengajian serta acara-acara supaya orang semakin lebih baik.”

Ketua Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia, Nursyamsu Mahyudin mengatakan, penggunaan jilbab yang sesuai syariat, yakni menutup aurat, lebih penting ketimbang halal atau haram busana yang dikenakan. Menurut dia, perintah agama terabaikan manakala umat Islam lebih mementingkan pakaian atau jilbab. “Jilbabnya halal tapi nanti cara memakainya yang belum sesuai ketentuan (syariat Islam), itu juga jadi kekhawatiran orang,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 10 Februari 2016.

Kemenag berharap, Badan Jaminan Produk Halal (BJPH) segera dibentuk sebagai otoritas tunggal untuk sertifikasi halal sesuai amanat Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal. Jika BJPH sudah terbentuk, MUI hanya berwenang menerbitkan fatwa halal atau haram dan tak lagi berhak menerbitkan sertifikat halal.

Menurut Machasin, BJPH sedang dalam proses pembentukan dan disiapkan di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. “Target tahun ini sudah harus terbentuk.”

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya