Hakim Calon Pemimpin KPK Ini Kerap Dissenting Opinion

Pansel Gelar Tes Wawancara Terbuka Capim KPK
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id - Satu dari delapan calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah Alexander Marwata. Dia satu-satunya calon dari unsur hakim. Dia telah empat tahun menjabat sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta Pusat. 
Politikus Budi Supriyanto Didakwa Disuap Ratusan Ribu Dolar

Calon pemimpin KPK yang bermukim di Jurangmangu Barat, Pondok Aren Tangerang Selatan, Banten, itu mengawali studinya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada 1986. Lalu ia melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 
'Bos Podomoro Beri Sanusi Uang Rp2 Miliar Sebagai Sahabat'

Dalam karier profesi Alex, dia pernah menjadi auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 1989 sampai 2011. Dia juga pernah bekerja sebagai Certified Fraud Examiner (CFE) yang merupakan sertifikasi internasional untuk pencegahan dan pemberantasan penipuan.
KPK Ajak Pengusaha Cegah Korupsi di Sektor Swasta

Selama empat tahun menjadi hakim, Alex ternyata kerap berpendapat berbeda atau dissenting opinion ketika memberikan vonis pada terpidana korupsi untuk sejumlah perkara. Misalnya, dalam dalam perkara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, perkara mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan kasus yang melibatkan mantan Komisaris Utama PT Bukit Jonggol Asri, Kwee Cahyadi Kumala alias Sui Teng. 

Dalam dissenting opinion pada kasus Akil, Alexander menganggap jaksa penuntut umum KPK tak memiliki kewenangan menuntut pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena tak disebut dalam Undang-Undang TPPU. Maka Akil tidak bisa didakwa dengan pasal TPPU. Namun dissenting opinion Alex tak memengaruhi hukuman seumur hidup Akil, yang terbukti bersalah melakukan korupsi dan suap sebagai hakim MK dalam 14 perkara sengketa pilkada.

Lalu dalam perkara korupsi sengketa Pilkada Lebak di MK yang melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Alex menjadi satu dari empat hakim yang berpendapat berbeda. Dalam putusan persidangan, ia menilai Atut tidak bersalah pada September 2014. Ia bahkan membebaskan Atut dari dakwaan karena penuntut umum dianggap tidak dapat menunjukkan alat bukti keterlibatan Atut.

Kasus selanjutnya, Alex kembali mengeluarkan dissenting opinion dalam kasus suap terkait Kwee Cahyadi Kumala alias Sui Teng. Dalam putusan atas kasus itu, Alex berpendapat Sui Teng tidak bisa dijerat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Alex juga memberikan dissenting opinion pada kasus yang menjerat terdakwa korupsi dan pencucian uang Dhana Widyamika. Alex menilai dalam kasus itu harus diperjelas penerima dan pemberi gratifikasi. Terdakwa dianggap tidak pernah menerima atau menikmati gratifikasi itu. Maka Undang-Undang TPPU tidak bisa menjerat Dhana.

Alex yang kerap memberikan dissenting opinion tak melulu konsisten berpendapat berbeda, misalnya, pada perkara suap sengketa pilkada di MK yang melibatkan Wali Kota Palembang Romi Herton dan Masyito, istrinya, pada 10 Maret 2015. Dalam perkara itu, Romi dihukum enam tahun penjara dan Masyito empat tahun penjara. Kali ini Alex berpendapat sama dengan hakim lain untuk memvonis Romi dan Masyito.


Lilis Khalisotussurur/Jakarta
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya