Indonesia Mulai Menembus Antariksa

Stasiun luar angkasa internasional (ISS).
Sumber :
  • Nasa.gov

VIVA.co.id - Rencana program pengiriman siswa Indonesia untuk meneliti di Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) disambut riuh oleh masyarakat Indonesia.

2017, Moon Express Buka Perjalanan Wisata ke Bulan

Mayoritas menyampaikan rasa bangga sebagai warga negara menyaksikan pelajar Indonesia nanti menghasilkan riset di NASA dan hasilnya diuji coba di Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS).

Masyarakat menyambut positif rencana riset siswa yang akan diuji di laboratorium stasiun tersebut dan dipantau dari laboratorium di daratan Bumi. Kebanggaan itu seakan menggambarkan "rasa haus" masyarakat atas pencapaian Indonesia di wilayah luar Bumi.

Program riset siswa tersebut digalang Surya University dan Indonesia Tranformation Network atas inisiasi peneliti Indonesia, Joko W Saputro yang sudah lama, 21 tahun, belajar dan mengajar di negeri Paman Sam.

Pria yang akrab disapa Prof. Sap itu mengatakan, awalnya ia bertemu dengan peneliti NASA dan kemudian meminta kuota dalam roket peluncur NASA yang akan terbang ke ISS.

"Jadi, lima minggu lalu saya ketemu dengan NASA. Saya kemudian minta slot ke NASA untuk dua tim bikin eksperimen yang dititipkan di roket yang akan naik ke ISS. Saya pesan dua eksperimen," kata pria yang akrab disapa Prof. Sap kepada VIVA.co.id, Rabu 1 Juli 2015.

Gayung pun bersambut. NASA mengabulkan permintaan Prof. Sap. Segera, lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu langsung mengontak fisikawan Yohanes Surya, koleganya saat belajar di Amerika Serikat.

Setelah dicari, program ini telah menemukan dua tim SMA yaitu SMA Unggul Del, Sumatera Utara dan gabungan SMA di bawah Surya Institute.

Menurut jadwal, tim siswa yang terpilih dalam program ini akan menjalankan riset mini selama satu hingga dua pekan di laboratorium mini ISS di Amerika Serikat. Uji coba hasil risetnya dilakukan Desember 2015.

Disebutkan, hasil akhir riset siswa Indonesia, yang berupa modul eksperimen, akan diserahkan ke Badan Antariksa AS (NASA) pada awal Januari 2016, sebelum diluncurkan ke ISS pada 2 April 2016.

Peluncuran hasil riset siswa Indonesia akan menumpang muatan di roket SpaceX CRS-8. Prof. Sap mengatakan, tiap roket yang meluncur ke ISS akan membawa bobot dua ton. Nantinya, riset siswa Indonesia itu akan diuji di Laboratorium Nasional AS di ISS.

Sebagai langkah awal menjalankan program ini, dua guru dari masing-masing tim SMA akan dikirimkan ke NASA pada akhir Juli ini. Empat guru itu, yang akan menjadi pendamping tim masing-masing.

"Empat guru kami bawa ke California, untuk training. Kasih tahu cara desain eksperimen untuk di antariksa itu seperti apa," tutur Prof. Sap yang merupakan doktor jebolan University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat itu.

Sepulang dari pelatihan, guru tersebut wajib menularkan ilmunya ke tim siswanya.

Sayangnya, sang inisiator program mengatakan, program ini diluncurkan tanpa uluran bantuan negara, tak ada sumbangan dana dari pemerintah.

Prof. Sap mengatakan, saat ini tengah berupaya keras menggalang dan mencari dana dari sponsor untuk mendanai misi riset yang butuh biaya setidaknya Rp200 juta untuk satu tim.

Praktis selama ini, Prof. Sap mengaku saweran dengan jaringannya untuk mendanai program ini. Miris, negara tak hadir.
 
Padahal, program ini bisa dibilang istimewa. Sebab, jika berhasil diuji di ISS, maka riset siswa Tanah Air itu akan menjadi riset pertama Indonesia yang ada di ISS. Selama ini, belum ada nama Indonesia hadir di antariksa. Jangankan untuk astronaut, untuk riset pun simbol Indonesia belum menembus.  

Hal itu dikuatkan dengan keterangan dari Kepala Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung, Clara Yatini. Ia mengatakan, sejauh ini, kontribusi Indonesia dalam riset dalam dunia antariksa hanyalah menyumbangkan material penelitian.

"Kalau untuk hadir di sana (ISS) belum. Yang ada kerja sama dengan modul untuk diletakkan di ISS milik Jepang, Kibo. Itu kerja sama dengan ITB," ujar Clara kepada VIVA.co.id.

Kerja sama dengan negeri Matahari Terbit itu pun, kata Clara, masih tahap diskusi dan baru diluncurkan ke ISS pada 2017. Artinya, riset peneliti ITB dan Jepang itu akan didahului oleh pengujian eksperimen dari siswa SMA Indonesia.

Clara mengatakan, selama ini riset keantariksaan dari peneliti Indonesia masih menjalankan uji coba di daratan Bumi saja.

Misalnya, peneliti Indonesia melakukan simulasi dengan peralatan untuk meniru kondisi mikro gravitasi di antariksa. Pencapaian terbaik peneliti Indonesia dalam riset antariksa yaitu sebatas berkontribusi mengirimkan material penelitian di ISS. Peneliti Tanah Air tak terlibat.

"Kita kirimkan biji diterbangkan ke sana dan dikembalikan dan ditanam ke Bumi," tutur perempuan jebolan Astronomi Universitas Tohoku, Jepang itu.

Kejahatan dan Ide Penjara di Luar Angkasa



Inspirasi generasi muda

Prof. Sap mengatakan, program yang dicetuskan itu bertujuan menginspirasi kepada generasi muda bangsa untuk melahirkan karya dunia.

Program riset itu akan menjadi ujian sejauh mana kemajuan sains generasi muda Indonesia dalam melahirkan eksperimen kelas dunia. Dia mendorong dua tim SMA terpilih untuk bereksperimen masalah yang relevan diterapkan di Tanah Air tercinta. Misalnya, riset padi atau tempe di antariksa.

Meski risetnya jauh di luar angkasa, tapi para siswa tetap bisa memantau eksperimen mereka dari Bumi. Sebab, pada uji coba hasil riset itu akan dipasang monitor berupa kamera, termometer atau alat ukur lainnya.

Sebagai bentuk kebanggaan, nama Indonesia bisa hadir di ISS. Prof. Sap berencana menambahkan bendera Indonesia dan logo garuda pada kotak eksperimen yang dikirim ke antariksa.

"Saya ingin ngipasi (memacu) inspirasi kecintaan sains antariksa ini menular di Indonesia," ujarnya.

Prof. Sap ingin memanfaatkan momentum hasil riset siswa Indonesia di ISS untuk makin menggaungkan program ilmiah dari Indonesia. Ia juga berharap dengan terus mendapat kesempatan riset, kualitas riset Indonesia di NASA dan antariksa bisa makin berkembang.

"Yang lain, riset sudah canggih, di ISS mereka meneliti bagaimana manusia bisa hidup di antariksa dalam jangka panjang. Penelitian sudah sampai astromedical science, ini untuk persiapan ke Mars," kata dia.

Untuk itu, ia berharap pada tahun-tahun selanjutnya, riset dari peneliti dan siswa Indonesia bisa mendapatkan tempat di ISS maupun NASA.

Tak hanya soal riset, Prof. Sap berharap nantinya NASA mau untuk memberikan ruang bagi astronaut asal Indonesia bisa terbang ke ISS.

Hal itu untuk memecah kebuntuan kehadiran astronaut Indonesia di antariksa. Terakhir kali, Indonesia serius untuk mengirimkan astronaut sudah lama, yakni pada 1986 melalui calon astronaut Pratiwi Sudarmono.

Namun sayangnya, kesempatan Pratiwi itu gagal lantaran pesawat ulang alik Challenger, yang membawa misi NASA sebelum misi yang dijalani Pratiwi, meledak. Akhirnya, NASA membatalkan beberapa misi penerbangan ke antariksa, termasuk pesawat ulang alik Columbia yang akan diikuti oleh Pratiwi.



Calon astronaut Indonesia

Saat Indonesia absen dari pengiriman astronaut sejak 1980-an, jelang peralihan tahun 2013 ke 2014, ada harapan astronaut Tanah Air yang akan mewakili Indonesia di antariksa.

Calon astronaut tersebut yaitu Rizman Adhi Nugraha. Rizman memang bukan "lahir" dari program pemerintah, melainkan muncul dari sebuah kompetisi parfum, Axe Apollo Space Academy.

Stephen Hawking Punya Misi Antariksa Baru

Sebuah ajang kompetisi global yang menjanjikan pemenangnya bisa terbang ke luar angkasa. Rizman menjadi salah satu pemenang kompetisi global tersebut.

Rizman pun ikut kompetisi setelah ia "bertarung" dengan 80 ribuan pendaftar di Indonesia, 40 peserta dalam tingkatan National Space Camp, dan berkompetisi dengan 105 perserta lainnya di tingkatan Global Space Camp di Amerika Serikat.

Melalui dua tahapan pengujian itu, Rizman melewati beragam tantangan yang membangun menguji fisik dan mental peserta. Akhirnya, pada penghujung 2013, Rizman terpilih menjadi salah satu dari 23 peserta yang berhak untuk terbang ke luar angkasa.

"Dan akhirnya terpilih, Alhamdulillah ini mungkin rezeki saya," kata dia.

Rizman menyadari, penerbangannya ke titik nol gravitasi itu berbeda dengan misi astronaut badan antariksa reguler. Menurut dia, astronaut reguler menjalani tes yang lebih berat dan berada di antariksa serta menjalankan misi dalam jangka panjang.

"Kalau kayak itu (astronaut NASA) lebih beda. Astronaut dari NASA kan ada misi khususnya, di satelit tinggal berapa lama itu, memang ada yang lebih spesifik, jadi beda, ya. Lebih berat astronaut reguler," kata dia.

Sementara itu, untuk penerbangan yang dijalaninya pada akhir 2015 atau paling lambat akhir 2016, ia mengatakan hanya "mencicipi" antariksa selama 6 menit. Tak ada aktivitas penelitian atau pengamatan. Rizman akan melalui itu hanya sekadar melihat dan merekam pemandangan Bumi dari luar angkasa.

Meski cuma sekejap dan tak menjalankan misi khusus, pemuda asal Bangka Belitung tersebut mengatakan, momen itu akan menjadi hal yang khusus bagi dia secara pribadi dan Indonesia.

"Jadi, momen 6 menit itu bisa mengubah sejarah Indonesia, jangan sampai kalah dengan negara tetangga, Malaysia saja sudah (kirimkan astronaut), kita belum ada satu pun," ujar Rizman kepada VIVA.co.id di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Kamis malam, 2 Juli 2015.

Jika ia terbang ke luar angkasa, kata Rizman, bisa menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mampu "mengirimkan" warganya ke antariksa.

Rizman mengatakan, penerbangannya juga membawa pesan ke generasi muda untuk tak patah arang dalam menggapai mimpi. Terlepas ambisi apa pun, selama itu positif haruslah diusahakan secara keras agar bisa tercapai.



Tak punya program

Di tengah munculnya riset dan astronaut yang membawa nama Indonesia, pemerintah pun bisa dibilang angkat tangan terkait dengan program keantariksaan.

Kepala Pusat Sains Antariksa Lapan, Clara Yatini, mengatakan, pemerintah hingga hari ini tak memiliki program nasional antariksa, terlebih untuk pengiriman astronaut. Dengan demikian, lembaga sekelas Lapan pun bingung.

"Belum ada programnya itu, rasanya siapa (lembaga) yang harus jadi leader-nya, belum tahu. Rasanya, siapa yang dipersiapkan untuk jadi astronaut itu, nggak ada ya, karena program nggak ada," kata dia.

Maka, kata Clara, sudah seharusnya program nasional riset antariksa harus mendapat sokongan dana pemerintah. Ia yakin, jika pemerintah ada komitmen, banyak peneliti yang akan mendukung program tersebut.

Tapi, Clara menyadari kenapa program antariksa dan astronaut belum menjadi prioritas. Sebab, untuk mengirimkan misi ke luar angkasa itu butuh biaya yang sangat besar.

Untuk meluncurkan roket beserta muatan ke luar angkasa setidaknya butuh US$70 juta atau Rp1 triliun. Belum lagi anggaran riset nasional di Indoensia tergolong sangat kecil.

Perempuan jebolan Astronomi Universitas Tohoku, Jepang, itu membandingkan bagaimana pemerintah Malaysia peduli dengan program antariksa, sehingga negeri jiran itu bisa mengirimkan astronautnya ke antariksa.

"Mereka (astronaut Malaysia) didanai pemerintah, mereka dapatkan pelatihan di luar, di NASA, dibiayai," kata dia.

Dengan absennya pemerintah dalam program astronaut, menurut Clara, agar bisa mengirimkan astronaut bisa dengan menggalang dukungan dana dari luar atau swasta. Menurut dia, hal itu sah-sah saja sepanjang pemerintah tak mampu mendanai program.

"Saya pribadi pasti akan mendukung, sayangnya pihak asing belum ada yang mau merekrut (astronaut dari Indonesia)," kata dia.

Pihak asing tak mau merekut bukan karena daya tawar Indonesia maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia rendah. Menurut dia, jika ikut program NASA atau badan antariksa lain, juga tetap perlu memikirkan sokongan dana.

Jika pun ikut NASA, kata Clara, pasti badan antariksa AS itu akan meminta biaya untuk mengakomodasi peluncuran tersebut.

Hal yang paling mungkin saat ini, dia menambahkan, adalah mengirimkan hasil riset peneliti Indonesia untuk dititipkan roket dan diuji di ISS.

Untuk itu, ia memuji gagasan atau ide uji coba hasil riset siswa Indonesia di ISS. Clara pun mengomentari pancapaian Rizman.

"Bisa seperti itu bagus sekali, apalagi nanti misalnya Rizman dititipin penelitian, itu bagus sekali. Tapi, kan itu swasta dan mereka pasti motivasinya kan untung rugi sih," katanya.

Waktu singkat yang dimiliki Rizman sebenarnya, kata dia, tak menjadi kendala untuk menjalankan riset di antariksa.

Clara mencontohkan di tingkatan Asia, pernah ada program parabolic flight yang disokong Jepang. Misi yang diikuti pelajar dan mahasiswa itu meneliti dan melakukan percobaan di wilayah nol gravitasi, meski waktunya kurang dari 6 menit.

"6 menit (Rizman) rasanya percobaan juga bisa," kata dia.

Di tengah kebuntuan dukungan dana tersebut, Clara pun tersenyum saat mendengar kelakar, mungkin perlu menunggu kaum filantropi yang gila sains menggelontorkan program astronaut Indonesia.

"Industri (swasta) kita memang belum melihat (kebutuhan riset antariksa). Sulit bagi industri swasta karena kan orientasinya bisnis, sulit," kata dia.

Ia menambahkan, di tengah kekosongan program astronaut dan riset antariksa, ia mengharapkan ada pihak yang berani usul ke pemerintah secara intens agar melahirkan program astronaut.

"Harus ada yang berani mengusulkan, harus didukung, juga oleh yang lain. Misalnya Lapan yang usulkan, tapi kalau sendirian nggak mungkin, perlu konsorsium usulkan itu, biar lebih kuat. Lapan tak bisa sendiri," tuturnya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya