BPJS Ketenagakerjaan, Masihkah Berpihak pada Buruh?

Aturan baru BPJS.
Sumber :
  • Dok. Ist

VIVA.co.id - Terhitung 1 Juli 2015, sesuai Undang-Undang No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, pemerintah mulai mengoperasikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Tingkat Keyakinan Konsumen RI Menurun Tajam, Ungkap Survei

Ada empat program, yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian yang sudah lebih dulu ada, dan jaminan pensiun yang baru dilaksanakan mulai 1 Juli 2015.

Alih-alih memberi jaminan sosial bagi masyarakat, ternyata sejumlah aturan baru yang diterapkan dalam BPJS Ketenagakerjaan dinilai memberatkan masyarakat yang mendapat manfaat.

Mulai dari besaran iuran jaminan pensiun yang telah ditetapkan sebesar tiga persen, hingga jaminan hari tua (JHT) yang sebelumnya bisa dicairkan jika masa kerja telah lima tahun, dengan aturan baru kini, yaitu bisa dicairkan setelah 10 tahun masa keanggotaan.

Artinya, lebih lama lima tahun peraturan sebelumnya. Itu pun tidak bisa diambil semua, hanya bisa 10 persen, beda dengan aturan sebelumnya yang sudah bisa diambil semuanya, setelah masa keanggotaan lima tahun.

Untuk besaran iuran jaminan pensiun sebesar tiga persen, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya berdalih, jika nilai itu hanya sementara dan akan ada perubahan secara bertahap hingga mencapai angka delapan persen.

Retribusi Perusahaan Pengguna Tenaga Kerja Asing Naik

Penolakan

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menegaskan bahwa buruh secara tegas menolak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Iuran Jaminan Pensiun. Penolakannya adalah, karena bersifat diskriminasi terhadap iuran jaminan pensiun.

Said menilai, manfaat pensiun sebesar 40 persen dari gaji terakhir adalah hal yang tidak wajar, saat buruh telah memasuki masa pensiun. Dia membandingkan dengan jaminan pensiun bulanan yang diterima PNS/TNI/Polri yang menerima manfaat bulanan 75 persen. Hal ini, menurutnya, adalah sebuah diskriminasi.

"Penetapan iuran tiga persen sangat bertentangan dengan program Nawa Cita Jokowi (Presiden Joko Widodo). Kita mengusulkan iuran delapan persen, dengan manfaat pensiun 60 pensiun, yang penting manfaatnya 60 persen," ujar Said di Gedung Joeang, Cikini Jakarta Pusat, Kamis 2 Juli 2015.

Sisi lain, perpanjangan waktu pencairan jaminan hari tua (JHT) BPJS Kesehatan juga menuai kecaman. Selain kurangnya sosialisasi, peraturan baru tersebut jelas telah melanggar hukum.

Said Iqbal menambahkan, pihaknya akan mengajukan Judicial Review PP Jaminan Pensiun dan JHT ke Mahkamah Agung. Menurut dia, aturan baru di mana JHT hanya bisa diambil 10 persen, setelah 10 tahun bekerja dan bisa diambil secara penuh setelah 56 tahun sangat merugikan buruh.

"Menurut saya itu enggak benar. Itu cuma pending dana saja. Ngapain baru bisa diambil 10 tahun, dan kenapa harus sampai usia 56 tahun?" kata Maikel, salah satu peserta BPJS Ketenagakerjaan yang ditemui VIVa.co.id, Kamis.

Tunggu Data Tenaga Kerja, Wall Street Bergerak Datar

Apalagi, sambung dia, peraturan baru yang dibuat tersebut minim sosialisasi. "Tidak ada sosialisasi, saya baru tahu kemarin."

Perwakilan Komite Persiapan Konfederasi Perserikatan Buruh Indonesia (KP-KPBI), Ilham Syah, ketika dihubungi VIVA.co.id di Jakarta, mengatakan bahwa sejak awal mereka sudah menganggap UU BPJS Ketenagakerjaan sudah cacat hukum sejak awal.

Menurut KP-KPBI, negaralah yang bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Namun, dalam UU BPJS, fasilitas kesejahteraan itu bukan berasal dari negara, tetapi berasal dari dana iuran perusahaan dan pekerja. "Seakan-akan negara lepas tangan," kata dia.

Aturan BPJS Ketenagakerjaan ini, lanjut Ilham, dicurigai sebagai akal-akalan negara untuk menyerap dana dari publik. Mereka mencurigainya, dana tersebut akan digunakan untuk pembiayaan program-program infrastruktur pemerintah. Bahkan, mereka curiga dana itu digunakan untuk kepentingan pihak tertentu.

"Dengan adanya jangka waktu 10 tahun, ini makin menunjukkan dana yang dikelola akan menggelembung dan bisa dialokasikan. Siapa yang bisa mengontrol? Apakah ini juga bisa digunakan untuk kepentingan partai politik? Kami mencurigai ini," kata dia.

Sikap dukungan

Kalangan pengusaha bisa memaklumi reaksi pekerja terhadap aturan baru BPJS Ketenagakerjaan tentang pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT).

"Diperlukan sosialisasi yang memadai, karena kemarin kurang sosialisasi yang memadai. Kemarin, waktunya cukup mepet," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, saat ditemui di Jakarta.

Selama ini, aturan yang berlaku adalah dana tersebut bisa dicairkan apabila yang bersangkutan minimal lima tahun menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

"Kalau mengharapkan lima tahun bisa dicairkan, ya menjadi masalah. Kalau dilihat dari penggunaan yang ada, mereka memerlukan dana untuk keperluan saat-saat ini, seperti Lebaran dan anak sekolah. Mereka jagain itu," kata dia.

Hariyadi mengatakan bahwa aturan minimal 10 tahun kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sudah ideal untuk pencairan jaminan hari tua. Sebab, jika dicairkan dalam waktu singkat, dikhawatirkan tujuan program JHT tidak akan tercapai.

Ia mengatakan, sebenarnya tidak ada yang dirugikan dalam program ini. Dalam segi tabungan, dana yang tersimpan untuk JHT diinvestasikan dan dikembangkan oleh BPJS Ketenagakerjaan ke saham, reksa dana, dan lain sebagainya.

Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan lembaga aspirasi masyarakat malah menyatakan dukungan terhadap aturan BPJS Ketenagakerjaan, yang ditolak oleh asosiasi buruh nasional.

"Bukan untuk konsumtif. Sehingga, kalau diambil di depan semua, maka pensiunnya tidak akan punya dana lagi untuk simpanan. Jadi, semangatnya adalah menyimpan buat di hari tua," jelas Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf kepada VIVA.co.id, Kamis.

Juru Bicara DPP Partai Demokrat ini mengatakan, untuk JHT layaknya memang tidak diambil dalam jumlah besar. Sebab, program ini ditempatkan, agar pekerja ketika pensiun memiliki dana untuk wirausaha.

"Jika dia pensiun sebelum usia 56, bisa ditarik langsung dihitung dari jumlah yang sudah ditabung. Itulah sistem yang dipresentasikan oleh BPJS. Kemungkinan, karena kurangnya sosialisasi hingga ada pertanyaan dari masyarakat mengenai perubahan peraturan tersebut. Tugas BPJS adalah menjelaskan lagi ke publik dengan lebih detail," jelas Dede.

Ada pun manfaat yang diperoleh dari BPJS Ketenagakerjaan antara lain adalah housing benefit (kemudahan pemilikan rumah), food benefit (penyediaan pangan murah), education benefit (pemberian beasiswa pendidikan). Selain itu, transportation benefit (kemudahan akses transportasi publik) dan health benefit (dukungan akses fasilitas kesehatan).

Semua manfaat tambahan tersebut melengkapi financial benefit yang telah disampaikan BPJS Ketenagakerjaan kepada para peserta. Untuk mendukung program yang dimiliki, BPJS Ketenagakerjaan juga mengoptimalkan pelayanan dengan menggunakan budaya baru yang disebut prima, peduli, ringkas, interaktif, modern, dan aktif. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya