Pameran Kartun Nabi, AS Kecolongan atau Kebablasan?

Insiden Penembakan Terjadi di Kontes Kartun Nabi Muhamad
Sumber :
  • REUTERS / Mike Stone

VIVA.co.id - Presiden Barack Obama dan para pejabatnya, di berbagai fora internasional, selalu menekankan bahwa Amerika Serikat menghargai semua agama maupun aliran kepercayaan apa pun. Sebagai negara demokratis, kebebasan berpendapat tetap dijunjung tinggi, tapi tidak berarti bisa menghina yang lain.

Menag: Indeks Kerukunan Umat di Indonesia Tinggi

Namun, di Amerika sendiri, tampaknya masih banyak kalangan yang mengabaikan pernyataan presiden mereka itu. Apa yang terjadi awal pekan ini di negara bagian Texas akhirnya membuat banyak pihak bertanya-tanya, apakah Amerika memang negara yang toleran seperti yang selama ini dipromosikan para pemimpin mereka?

Dengan dalih menggunakan kebebasan berekspresi, sejumlah kalangan di Kota Garland, Texas, menggelar pameran dan kontes karikatur Nabi Muhammad. Sudah pasti ini mengundang kemarahan umat Muslim, yang sudah pasti menganggap acara itu adalah tindakan provokatif dan sengaja memancing konflik.

Istana Kecam Pembakaran Permukiman Eks Gafatar

Pihak penyelenggara tidak belajar dari tragedi di kantor majalah Charlie Hebdo di Prancis beberapa waktu silam. Serangan brutal di Paris itu sebenarnya tidak perlu terjadi andai pengelola majalah tidak menayangkan kartun Nabi Muhammad, tokoh suci umat Islam yang tidak boleh digambarkan dalam rupa atau bentuk apa pun. Bila ada yang sampai menggambarkan, itu sama saja penghinaan.

Tragedi Charlie Hebdo itu nyaris terjadi dalam pameran dan kontes kartun Nabi di Garland. Sejumlah orang yang marah mencoba menggagalkan acara itu, yang akhirnya harus berjibaku dengan aparat keamanan setempat.

JK Minta Tim Penanggulangan Terorisme MUI Dihidupkan Lagi

Ini terjadi setelah Kepolisian Texas menembak mati dua orang bersenjata di luar lokasi pameran dan kontes karikatur Nabi di Garland, Minggu 3 Mei 2015 waktu setempat.

Menurut kantor berita Reuters, kelompok sayap kanan American Freedom Defense Initiative (AFDI), Senin 4 Mei 2015, menyebut acara bertajuk "Muhammad Art Exhibit and Contest" itu sebagai bagian dari kebebasan berbicara.

Insiden itu terjadi hanya empat bulan setelah serangan ke kantor majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis, awal Januari, yang menewaskan 12 orang. Dipicu oleh alasan yang sama, pemuatan karikatur Nabi.

Dalih AFDI pun serupa dengan para kartunis Charlie Hebdo, yaitu mempromosikan kebebasan berekspresi. Mereka berusaha memaksa pihak lain yang mereka sebut radikal untuk menerima apa yang mereka atasnamakan demokrasi dan toleransi, dengan sengaja melakukan tindakan provokatif.

Apakah itu cara-cara demokratis? Apakah pameran di Garland itu mencerminkan toleransi? Padahal dari sisi lain, mereka yang disebut kelompok radikal karena berusaha memaksakan kehendak sepihak.

Kebencian

Pamela Geller, presiden AFDI, mengatakan pada Fox News, bahwa dia sengaja memilih lokasi pameran di Garland, karena itu tempat di mana para pemimpin muslim AS menggelar konferensi tentang fobia Islam, sepekan setelah Tragedi Charlie Hebdo.

Organisasi yang dipimpinnya berkali-kali melakukan aksi provokasi. Ironisnya, aksi Geller didukung aparat hukum.

Hakim federal AS, John Koeltl, memerintahkan Otoritas Transportasi Metropolitan (MTA) New York, untuk menampilkan iklan kontroversial yang disponsori AFDI pada 21 April 2015.

Koeltl menyebut putusannya merujuk pada Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang menjamin kebebasan berbicara. Dia tidak peduli betapa provokatifnya isi iklan, yang dipasang di bus dan kereta AS itu.

Geller mengklaim iklan rasis itu ditujukan untuk menghentikan kebencian, dengan mendesak dihentikannya pemberian bantuan dari pemerintah AS bagi negara-negara muslim.

Untuk acara pameran dan kontes karikatur di Garland, AFDI menawarkan hadiah $10.000 atau sekitar Rp 130 juta untuk karikatur Nabi yang dianggap terbaik, serta $2.500 untuk karya pilihan publik.

Walikota Garland, Douglas Athas, mengatakan mengizinkan pameran, walau tahu akan memprovokasi serangan. "Itu mengapa kami memperketat keamanan di lokasi," kata Athas.

Konstitusi

Jika Konstitusi AS menjamin sepenuhnya kebebasan berbicara, maka semestinya setiap orang bebas menyampaikan pernyataan anti homo seksual, bebas membantah adanya tragedi holocaust, boleh mengatakan negro.

Faktanya, Amos Hason (49) dipenjara tiga tahun karena membuat gambar swastika dan menulis kalimat anti Yahudi. Sementara memanggil orang kulit hitam dengan sebutan negro, dapat menyebabkan perselisihan serius.

Pada sebuah situs di AS, straightdope, beberapa pengguna memperdebatkan penggunaan kata negro. Beberapa bersikeras itu tidak termasuk sebagai SARA, menilai bahwa masyarakat kulit hitam AS terlalu cepat tersinggung.

Situs AWHM (American White History Month), menulis mengapa orang kulit putih tidak bisa menyebut Negro, padahal ada organisasi filantropi bernama United Negro College Fund (UNCF) di AS.

Masyarakat Yahudi dan orang kulit hitam AS mudah tersinggung, lantas apakah ada kampanye khusus dari orang-orang AS untuk memerangi itu, seperti yang dilakukan AFDI?

Toleransi Membingungkan

AS tidak saja masih bermasalah dengan intoleransi, namun juga kekerasan rasial.  Ini masalah yang terus menghantui AS, walau sudah dipimpin oleh presiden yang non kulit putih.

Kerusuhan rasial di AS terjadi pekan lalu, 27 April 2015. Penjarahan dan pembakaran gedung-gedung terjadi di Baltimore, Maryland, dipicu kasus penembakan remaja kulit hitam oleh polisi.

Beberapa bulan sebelumnya, polisi AS juga menembak mati remaja kulit hitam di kota Ferguson, Missouri, pada Agustus 2014. Kasus itu pun memicu kerusuhan besar, menyebar ke kota-kota lain.

Masih ada ratusan lain kasus penembakan, serta perlakuan buruk yang diterima warga kulit hitam AS, yang memperlihatkan betapa buruknya persoalan diskriminasi di negara itu.

Dikutip dari Guardian, mantan ibu negara AS Hillary Clinton mengatakan, orang AS harus berhadapan dengan kejujuran yang sulit tentang ras dan keadilan. Adanya kekerasan terpola terhadap kulit hitam disebutnya tidak dapat dibantah.

"Kita telah membiarkan sistem peradilan keluar dari keseimbangan," ucap Clinton, yang mengakuinya adanya persoalan di negaranya, yang selama ini mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.

Konsep toleransi di AS tampak sangat membingungkan, karena seolah-olah hanya menuntut pihak lain mengikuti kehendak mereka. Orang AS juga bisa membatasi diri untuk tidak menghina orang kulit hitam.

Mereka bisa membatasi konsep kebebasan berbicara, untuk beberapa masalah yang terkait dengan Yahudi, kulit berwarna dan kaum homo seksual. Mengapa tidak berlaku juga untuk umat beragama?

Kerusuhan rasial di AS semestinya digunakan untuk introspeksi diri, bagaimana orang AS masih punya banyak masalah dengan toleransi di negara mereka, sebelum mengumbar tuduhan pada pihak lain.

Komjen Tito Karnavian

Kapolri Akui Toleransi Agama Jadi Persoalan di Indonesia

Masalah toleransi masih ada, meskipun Indonesia sudah merdeka 70 tahun

img_title
VIVA.co.id
4 Agustus 2016