Wawancara Menkominfo Rudiantara

Industri Jangan Cuma Cari Untung, Tapi Beri Layanan

Menkominfo Rudiantara Kunjungi VIVA.co.id
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAnews - Jelang pergantian tahun ini, dunia telekomunikasi Indonesia seakan mendapat kado istimewa. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) resmi membuka layanan akses internet berkecepatan tinggi atau kerap disebut 4G LTE.

Meski telah membuka jaringan internet cepat, Menkominfo, Rudiantara, mengingatkan operator pemegang lisensi 4G LTE agar tetap memperhatikan ekspektasi masyarakat atas layanan internet cepat itu.

Pria yang akrab disapan RA itu meminta operator agar tetap menjaga layanan internet cepat supaya bisa menjaga kepuasan pengguna layanan.

Dalam menakhodai Kominfo, RA juga menegaskan visi kementerian sebagai pelayan bukan hanya kepada industri telekomunikasi, tapi sekaligus pelayanan kepada konsumen.

Di tengah kesibukannya, pejabat kelahiran Bogor, 3 Mei 1959 itu menyempatkan berkunjung ke kantor redaksi VIVA.co.id yang hari ini, Rabu 17 Desember 2014 merayakan ulang tahun ke-6.

Tak Lapor Surya Paloh, Waketum Nasdem Klaim Temui Prabowo Tanpa Wakili Partai

Wawancara berlangsung dengan nuansa santai di ruang rapat redaksi, Selasa 16 Desember 2014. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan, bagaimana proses penunjukan Anda sebagai menteri?

Siang (hari pengumuman Kabinet Kerja) saya ditelepon diminta ke Istana. Saya kemudian dijemput, waktu itu pakai batik, langsung ketemu Presiden dan Wapres. Setelah selesai pembicaraan, saya kemudian diminta untuk ganti baju putih.
Sudah disediain. Saya malah nggak tahu.

Buka Pendaftaran, Ini Kriteria Calon Wali Kota Malang yang Dicari PKB untuk Pilkada 2024

Menteri Kominfo sebelumnya mengusung "prinsip buat apa internet cepat, karena belum merata aksesnya." Kalau Anda bagaimana?

Kalau akses, semuanya harus dipercepat. Tapi, kalau buat apa internet cepat, saya rasa enggaklah, makin cepat makin bagus. Kita itu di ASEAN, ada MEA tahun depan, posisi kita dari 10 negara, dari sisi infrastruktur itu antara nomor tiga dan empat. Di atas kita ada Singapura, dari sisi kesiapan network, Malaysia dan Thailand. Untuk itu, pemerintah punya program broadband plan dan itu sudah ada sejak September. Sekarang adalah buat eksekusinya. Perhitungan sementara sampai 2019 butuh Rp270 triliun.

Simone Inzaghi Kangkangi Jose Mourinho Usai Inter Milan Juara Liga Italia

Pada 2013 itu kita hitungnya dari coverage sama akses. Itu akan mengarah ke speed. Dari sisi speed, rata-rata household (rumah tangga) dari 512 Kbps. Di 2019 jadi dua, perkotaan dan pedesaan. Ini juga dibagi dua, ada fixed line dan wireless. Nah, wireless persentasenya lebih banyak, karena seluler sudah di mana-mana. Fixed juga dibagi household dan bisnis seperti di SCBD Jakarta.

Nah, kalau fixed ini harus 100 persen coverage-nya. Total untuk semua, baik itu infrastrukturnya plus aplikasinya, perhitungan sementara kurang lebih Rp270 triliun. Jadi, ditanya adopsi pemerataan termasuk kecepatan ya, kita lakukan coverage iya, kecepatan juga iya. Rata-rata 512 Kbps sekarang, nah, ini kita akan lari. Secara teori, 4G itu kan bisa 20-30 Mbps, bayangkan bisa 40 sampai 50 kali dari 3G. Walau Telkomsel sudah launching 100 nots, SCBD itu mereka sudah cover semua. Dari itu, kami fokus 4G untuk segera di-deploy. Walaupun kita beri catatan juga kepada operator untuk me-remind publik. Bahwa kita maintenance ekspektasi publik, jangan sampai di bawah perform.

Pemerintah selalu peduli agar bisa jaga ekspektasi publik. Sementara, operator karena kompetisi, kadang nggak terlalu care dengan hal-hal seperti ini. Mereka iklan di mana-mana. Tugas Kominfo memang untuk komunikasikan ini ke publik secara khusus. Broadband ini rencana kita. Ini salah satu jadi program utama di bidang telekomunikasi dan internet. Kominfo memang spektrumnya luar biasa, mulai dari ngurusin stakeholder yang miliaran dolar sampai ratusan juta rupiah.

4G apakah butuh support dari pemerintah? Apakah cukup regulasi saja?

Pemerintah memang lebih banyak di regulasi. Bicara telekomunikasi, awalnya jadi terbuka dari UU No. 36/1999. Dari sini mulai dibuka, intinya dari UU ini sampai aturan turunanya, itu rezimnya izin, izin, dan izin saja.

Ke depan, ini sudah tidak diperlukan, tapi harus lebih ke layanan ke pelanggan akhir. Kan ada regulator, operator, satu lagi masyarakat atau customer. Ini harus berikan layanan ke operator dan pelanggan.

Saya kan pernah di sini (operator) maunya kompetisi. Contoh sederhana, Anda terima SMS yang tak diinginkan kan. Di website banyak penawaran investasi.

Nah, kami bicara dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk tangani ini. Bagaimana situs dan nomor bisa diblok. Mudah-mudahan dalam satu atau dua bulan sudah bisa keluar aturannya.

Ini industri tidak hanya cari untung, tapi juga aspek layanannya. Kedua, pelayanan kepada operator. Kami punya kewajiban moral kepada operator agar ekosistem bisnisnya itu sustainable.

Kalau bagus, kan lapangan pekerjaan berkembang, PNBP (penerimaan negara bukan pajak) banyak. Apa yang diberikan pemerintah memang regulasi, hal lainnya sebagai tanggung jawab pada industri.

Mereka akan bicara revenue, cost, dan profit. Yang kami lakukan membantu industri bisa turunkan biayanya. Contoh sederhana, operator dalam membangun kan harus gali tanah, gali untuk kabel, izin kan nggak gampang. Operator mau pasang indoor BTS, kan kadang harus sewa.

Konkretnya?

Jadi, kami melayaninya dengan tolong cek itu komponen biaya dari operator. Apa yang bisa kami lakukan untuk kurangi cost? Misalnya saya ke Gubernur Ahok (Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama), beliau kan mau program smart city.

Kami bisa bantu, tapi bantu kami juga, agar operator bisa akses gedung. Kalau perlu BUMD bisa bikin ducking untuk disewakan kepada operator.

Ini bentuk pelayanan kami kepada industri. Tujuanya agar semua komponen bisa turun. Kami juga dorong efisiensi dari sisi operator. Saat ini sudah sharing tower, sekarang saya ingin sharing lebih banyak lagi supaya cost-nya turun.

Kalau cost menurun secara industri, revenue di-maintain, maka profit-nya bisa tambah. Akhirnya harga jualnya jadi lebih rendah.

Revenue itu kan sama dengan fungsi tarif ditambah volume jual. Tujuannya itu meningkatkan affordability. Sebetulnya yang produk seluler termurah ini, kita nomor tiga, setelah Vietnam dan Thailand.

Ini cara regulator tak hanya keluarkan aturan, tapi juga memberikan pelayanan kepada pelanggan akhir dan operator. Saya sudah bicara dengan teman-teman Kominfo, kenapa keluarkan izin-izin terus, kita kan harus tanggung jawab moral lho. Ini pendekatan yang kami bicarakan dengan teman kominfo, terlepas tadinya ada atau nggak, saya nggak pikir.

Berarti untuk mengarah ke sana, UU No. 36/1999 bakal diubah?

Kita memang perlu revisi, tapi kan untuk mengubah UU, kami lebih mencoba hal-hal praktis yang bisa dirasakan langsung. UU memang bisa diubah, tapi kan itu proses politik, tak bisa ke Kominfo saja, harus bicara ke DPR.

Kita kan nggak tahu kapan jadinya. Daripada nunggu prosesnya yang lama, kita coba saja yang ada. Kita kan biasa kerja di lapangan, yang praktis saja dulu jalankan, yang penting bisa dirasakan dulu.

Alhamdulillah teman-teman mau, operator juga mau, karena pernah jadi bagian dari sana (operator), jadi kurang lebih bisa pahami konsen teman-teman. Sekarang saya bagian yang ngejar-ngejar operator, nggak kayak dulu, operator yang ngejar kami. Tapi, konsepnya jelas, lakukan efisiensi industri, unit cost-nya coba kita turunkan.

Kalau diturunkan berpotensi menurunkan kualitas layanan?

Kita impose regulasi ke operator harus perhatikan kualitas layanan (quality of service/QoS), kalau mereka deliver di bawah ini akan ada penalti. Jadi, ada efisiensi tapi tak berarti turunkan kualitas.

Yang terjadi sekarang, kompetisi data, mereka jual Kbps di bawah cost of service-nya. Kompetisi sangat eksesif. Operator berharap ada floor price, itu nggak ada, regulator nggak akan keluarkan floor price, ini kan kompetisi.

Tapi, saya komunikasikan ke operator dan masyarakat, agar berpikirnya jangan murah-murahan. Kalau berharap murah terus, pasti layanan akan terdegradasi. You pay peanuts, you get monkey lah. Jadi cara regulator melayani itu begitu. Biar bagaimana pun kami ini kan pelayan, cuma bedanya kami ada pin-nya saja.

Menkominfo Rudiantara Kunjungi VIVA.co.id

Bentuk punishment-nya apa? Apa cabut izin?

Izin tak akan dicabut, kecuali pengadilan yang lakukan. Di tatanan kita nggak ada pencabutan izin, paling denda, kemudian social sanction. Jadi kita coba, yang penting lebih efisien bagi operator, termasuk efisiensi infrastruktur. Kita dorong active sharing. Manfaatnya banyak, selain cost turun, impor (komponen infrastruktur) bisa turun. Kalau nggak neraca perdagangan kita kena kan, yang sampai bikin rupiah kita hari ini (Selasa 16 Desember 2014) sampai Rp12.900 per dolar. Ini lumayan, dari sisi sektor ini. Kalau sektor lain bisa bantu. Prinsip saya walau jadi menteri, kalau bisnis ya bisnis.

Kalau dari sisi operator, apakah terbuka dengan skema itu?

Open mereka. Operator saat ini yang laba kan hanya Telkom Group. XL dan Indosat kena rugi valas. Kalau biaya operasional mereka turun, paling tidak yang rugi valas akan berkurang, sehingga ini berimplikasi. Tadinya mereka berkompetisi di semua lini, di infrastruktur mereka kompetisi, di service dan customer service serta pelayanan juga berkompetisi. Sekarang kita ganti, infrastruktur boleh berkompetisi tapi jangan berlebihan, sharing kan tidak kompetisi, kompetisinya di layanan saja misalnya.

Perusahaan Over the Top (OTT) asing menghegemoni kita. Google, Facebook keruk iklan triliunan dari Indonesia. Pajak online diterapkan?

Itu kan teman-teman sesama media online. Lebih parah lagi ADEX-nya (total belanja iklan di media) televisi yang pindah ke online. Nah, ini memang jadi pemikiran. Kita mau apa? Opsinya, satu kita harus punya rasa nasionalisme sebagai orang Indonesia, tapi kita tak boleh chauvinistik. Bisa saja ini harus lokal, kita implikasinya. Facebook tiba-tiba nggak boleh di sini, berapa juta pengguna Facebook, Twitter berapa juta juga.

Jadi, approach-nya itu approach bisnis. Nah, salah satu contoh adalah kami bicarakan dengan Path. Mereka mau pindah ke Indonesia, kita harus approach bisnis. Saya sudah ketemu dengan Dave Morin (CEO Path) dan Pak Anindya Bakrie. Saya katakan kita harus pintar jualan, jangan hanya lihat pasar Indonesia saja. MEA dibuka, itu berapa ratus juta, lihat Singapura, Malaysia, dan Filipina yang lebih berbahasa Inggris, itu bisa di-address dengan Indonesia juga.

Kami tawarkan apa yang bisa dibantu pemerintah agar Path bisa pindah ke Indonesia. Approach-nya begitu, jangan pokoknya ini aturan nggak boleh.
Ya kita bisa dikejar masyarakat juga. Tapi harus berani hadapi itu, kalau nggak mau, jangan jadi pejabat.

Mungkinkah ada kebijaksanaan fiskal, misalnya insentif untuk perusahaan IT?

Sudut pandang saya, sama. Kita pendekatan harus bisnis. Kalau mereka pindah, apa yang bisa ditawarakan. Misalnya soal tenaga kerja, ada salah satu vendor besar miliar dolar setahun, dia bangganya Indonesia itu pasar nomor ketiga dunia, tapi headquater-nya ada di Malaysia, kenapa tak di sini. Maka pindahkan ke sini, apa yang Anda butuhkan?

Dia (vendor) cerita terbentur kuota tenaga kerja asing. Saya bilang, nanti saya yang urus di Kementerian Tenaga Kerja. Tapi, ini tenaga kerjanya harus punya skill dan spesialis. Kalau unskill saya bilang nggak bisa. Jadi saya begitu, minta ke menteri-menteri yang lain. Saya tawarkan begitu. Path sudah proses hampir pasti pindah ke Indonesia.

Kepada operator, saya juga sama. Mereka kan bangun jaringan. Tapi, kan yang Facebook, Twitter kan main di atas OTT saja. Saya sudah bicara dengan teman operator, saya bantu. Saya bilang mari kita pergi sama-sama ke kantornya sana (Facebook atau Twitter) dan kita bahas soal bisnis. Jadi kuat selling point-nya, pasar kita kuat. Approach bisnis terus negosiasi, ini lebih elegan daripada tiba-tiba keluar aturan larangan.

Semua upaya agar struktur industri bisa efisien, kenapa nggak kita lakukan. Saya apa pun, dan sharing itu cara yang paling cepat untuk turunkan efisiensi. Industri apa pun begitu, dulu saya di industri semen juga begitu. Saya firmed deliver, kalau sharing itu turunkan efisiensi.

Banyak kasus terkait Pasal 27 UU ITE, banyak juga dorongan untuk revisi aturan itu. Tanggapan Anda?

Masalah Pasal 27 itu opsinya ada dua. Satu, kalau nggak mau pusing, kita ubah saja UU-nya, tapi kan ini perlu proses politik, perlu ke pemerintah, DPR.
Kalau ubah UU, saya harus convince, semua kementerian terkait, setelah itu bicara dengan DPR. Bisa prosesnya kapan. Lebih baik saya convince ke pemerintah. Setidaknya khusus Pasal 27 soal SARA dan penghinaan kan dikenakan pidana 6 tahun. Kalau ubah UU diturunkan di bawah 6 tahun, sehingga tak tahan orang.

Nah, sekarang UU ITE sebetulnya beri perlindungan puluhan juta transaksi yang ada sekarang, misalnya internet banking, transfer pulsa. Tapi, ini nggak ribut kan. Ini memang ekses. Saya tidak abaikan ini (jerat Pasal 27), sebab sebulan rata-rata dari Januari-Oktober, ada 4 kasus.

Nah, kami lihatnya sesuatu yang sifatnya lex specialist. Sebetulnya aparat penegak hukumnya, sebelum mencantolkan kasusnya ke Pasal 27, sebaiknya dia mempunyai keahlian yang sangat spesifik untuk kasus-kasus tertentu. Memang tugas kami sampaikan hal ini ke aparat penegak hukum. Agar lengkapi pengetahuan yang benar spesifik tentang hal ini. Kalau nggak, ini bisa jadi titipan (untuk jerat) orang.

Jadi, dua opsi yang sedang kita jalani. Dua-duanya kami harus convince dari pemerintah. Kalau kami ubah UU sekalipun, tetap bicara dengan polisi dan aparat penegak hukum. Bahkan, ada pemikiran seperti kemarin kasus pemred The Jakarta Post, sampaikan dikaitkan dengan UU Pers. Yang ngerti UU ITE kan Kominfo, karena yang menginisiasinya. Jadi, harusnya yang lakukan itu Penyidik Pegawai Negeri Pegawai Sipil (PPNS).

Terkait domain .id bagaimana peran pemerintah?

Memang ini masalah .com dan .id, saya ketemu teman-teman kreatif,  kebanyakan mereka pakai .com, masalahnya apa? Kalau pakai .id, ongkos harus daftar perusahaan, Rp8 juta sendiri itu. Akhirnya saya ke pengelola domain bilang gratiskan saja, paling tidak promosikan saja, setahun. Ini kembali harusnya memberi insentif kepada “Indonesia”. Jadi, yang asing jangan dicegah, tapi yang insentif diberikan kepada yang Indonesia, tapi yang asing dipersulit, harus ditambahi syarat-syarat.

Kita seperti konsep ERP, you boleh nggak larang, kalau macet makin banyak bayar. Nah, konsepnya gitu. Tidak dilarang tapi bukan penalti insentif. Kan konsep ERP makin ramai makin macet, makin mahal. Kalau perlu Rp500 ribu sekali lewat, ya nggak apa-apa. Kalau punya kemampuan daya beli, ya lewat. Sekarang sudah nggak zaman konsepnya dilarang-larang, kecuali berkaitan dengan national security, lain urusannya. Bukan dilarang tapi pembatasan yang kita lakukan.

Bicara national security, data center apakah harus di Indonesia?

Kalau data center di Indonesia, kembali menurut saya itu bagian dari national security, pertahanan, itu nggak ada cerita. Tapi kalau bisnis, saya berbicara dengan perbankan. Karena, perbankan itu rencana akan dicanangkan bank asing bukan PT bank asing. Ada rencana mengharuskan mereka bikin data center di Indonesia, katakanlah ada 10 bank, saat ini ada tender Rp20 juta, berarti kalau 10 bank bisa Rp2 triliun lebih, kayaknya nggak efisien menurut saya.

Tapi, bagaimana dengan aturan, tapi aturan yang seperti apa yang mengatur sektor perbankan? Ya OJK, jadi kembali saya bicara dengan OJK. Saya tanya, yang dibutuhkan oleh OJK itu apa, OJK sebagai pengawas perbankan mereka butuh apa, kan nggak harus fisikal data center ada di sini, servernya ada di sini. Yang penting service level-nya di bawah bank asing, begitu diminta oleh OJK dalam waktu berapa lama, butuh berapa jam mereka menyerahkan datanya. Kalau mereka tidak menyerahkan, mereka lalai, atau melanggar, baru dikenakan penalti.

Penaltinya harus bikin data center di sini. Jadi, pola pikir kita itu, punya empati terhadap bisnisnya orang, jangan untuk nasional kita lakukan begini. Tentu saya setuju masalah pertahanan kita, nggak ada cerita. Saya bicara bank, OJK mengatakan nggak keberatan. Oke, satu selesai.

Tapi, tolong bicarakan penegak hukum, kalau ada kasus apa. Jadi, saya bicara dengan polisi, kalau polisi ini oke, ya sudah mereka tidak diharuskan, tapi nanti OJK mengeluarkan peraturan yang mengatakan service level-nya seperti apa mereka harus bikin prospecting letter bank asingnya, kalau tidak melakukan dikenakan apa. Jadi bisanya meregulasi, menghalangi. Protektif untuk yang harus kita proteksi itu nggak apa-apa, tapi kalau bisnis ya pendekatannya bisnis.

Menkominfo Rudiantara Kunjungi VIVA.co.id
 
Bukankah hal itu sudah diatur dalam PP No. 82?

Justru ini peraturan dari PP No. 82, peraturan dari Kominfo belum saya keluarkan.
 
Berarti dicegat di situ?

Bukan, saya harus bicara dulu dengan multistakeholder, karena aturan itu dibuat ada tujuannya kan, dulu filosofinya apa aturan itu dibuat, kita harus Tanya dulu. OJK bilang saya nggak keberatan, tapi coba aparat penegak hukum, kalau sudah semua, ya sudah kita rapat formal.
 
Bagaimana dengan pendirian Badan Cyber nasional?

Kita punya kapal selam, tapi lautannya luas banget, jadi banyak kebobolan. Begitu juga udara, kita punya Sukhoi untuk ngejar pesawat pribadi, padahal per jamnya butuh ribuan dolar. Sama, siber juga begitu, perlu ada pembahasan. Bukan desk lagi, tapi bagi yang tidak mempermasalahkan, yang penting apa yang bisa kita lakukan sekarang harus punya direction. Kedua, kita nanti punya badan cyber, nggak perlu bikin dari nol. Harus complement dengan yang ada, jadi cepat dibangunnya.

Sifatnya apakah seperti NSA?

Bisa, tapi nggak sampai segitu kali, kan kalau di Amerika ada Home Land Security, itu lebih lagi. Ini kan lebih ke cyber-nya saja. Kalau NSA lebih ke aksinya juga.
 
Badan Cyber Nasional melibatkan kementerian apa saja?

Kalau menurut saya sih tetap bagaimana pun, saya selalu. Kominfo itu bukan dewa, bukan yang paling tahu segalanya. Dari konten bukan unlog-nya, kalau infrastruktur iya.
 
Apakah nanti juga punya kewenangan?

Harus surveillance, pengawasan itu termasuk kewenangan. Termasuk semuanya. Pandangan kita waktu tahu mau ada cyber nasional ini mengumpulkan hacker-hacker untuk melakukan pertahanan, mungkinkah? Mungkin, sangat mungkin. Ini saya mau ketemu teman-teman hacker. Kalau saya melihatnya begini, kalau hacker murni itu, the real hacker itu tidak merusak, karena mereka itu bagian dari aktualisasi diri mereka bahwa saya nge-hack kamu, mereka pesannya soft, itu bagus menurut saya. Daripada nanti nggak jelas ke mana, maka saya rangkul.

Minggu depan saya ketemu, makan siang dengan mereka. Lebih baik rangkul anak muda yang sebetulnya mereka nggak butuh uang atau apa, kalau nge-hack kemudian black email itu bukan hack. Saya pernah diajak teman, tahu Sammy Samuel kan? Datang ke rumahnya terus saya bilang bantu ya, kita kan mau bangun DNS, tolong cek kalau perlu hack, bisa nggak, kalau bisa berarti ada yang perlu disempurnakan.
 
Ada insentif nggak buat hacker?

Insentif apa yang diperlukan. Saya rasa motivasi mereka bukan uang atau insentif, paling nggak mungkin pengakuan, saya lihatnya begitu. Kita manusiakan manusia.
 
Hacker digandeng masuk ke Badan Cyber Nasional?

Mereka nggak mau, mereka independen, tapi ada jaminan nanti motifnya bukan ekonomi, motifnya bukan merusak, motifnya hanya aktualisasi diri, itu the real hacker. Kalau dilembagakan percuma saja, paling-paling ketemu rutin ngobrol, orang Jawa bilang nguwongke.
 
Apakah penemu LTE dari RI akan diberdayakan di sini?

Mau diberdayakan harus tahu dulu. Waktu itu saya telepon, telat datang ke acara penyerahan Achmad Bakrie Award. Jadinya, lusanya saya telepon, rupanya nomor telepon dipakai oleh adik iparnya yang bilang, "Mas Khoirul (Khoirul Anwar) sudah kembali ke Jepang".

Saya telepon ke nomornya, tapi nggak diangkat-angkat. Begini, dia penemu 4G-nya apa, ada FDD, kan ada macam-macam. Sesuatu yang bisa diperkirakan bisa dimanfaatkan, biar gimana dia aset nasional. Jadi, saya harus tahu dulu. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya