2004-2014, KPK Tangani 52 Kasus Korupsi Kepala Daerah

Ruang Tahanan (Rutan) KPK
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin
VIVAnews
Mandalika Racing Series Kembali Bergulir Akhir Pekan Ini, Hadirkan Kelas Baru U-15
- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menegaskan tidak ada keterkaitan langsung antara pemilihan kepala daerah secara langsung, dengan adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang kepala daerah.

Spesifikasi Pesawat PK-IFP Jenis Tecnam P2006T yang Jatuh di BSD, Usianya Sudah 17 Tahun

"Berdasarkan kajian sesuai fakta dan data KPK, maka dapat ditunjukkan bahwa tidak ada hubungannya secara langsung kasus korupsi yang terjadi dengan pelaku kepala daerah disebabkan karena pemilukada langsung," ujar Bambang dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis 25 September 2014 malam.
Laut Bukan Habitat Asli Manusia


Bambang menuturkan, berdasarkan data yang dirilis Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, ada 290 kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah dari kurun waktu tahun 2004-2012. Kasus terkait kepala daerah yang ditangani KPK dari tahun 2004 sampai 2014 ada 52.


Menurut Bambang, 81 persen kasus yang ditangani KPK berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.


13 persen lainnya berkaitan dengan kasus penyuapan sesuai dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Tindak Pidana Korupsi, serta sisanya adalah kasus yang terkait dengan pemerasan dan jenis tindak pidana korupsi lainnya.


Dia menambahkan, dalam data KPK, kasus korupsi yang ditemukan justru terjadi usai pemilukada, seperti contohnya suap terhadap Akil Mochtar. "Jadi, tidak ada kaitan dengan pilkada langsung," ujar Bambang.


"Kasus korupsi yang diduga punya hubungan agak langsung dengan pemilukada, biasanya yang berkaitan dengan kasus penyuapan. Misalnya kasus Yesaya Sombuk dari Biak Numfor yang disuap," lanjutnya.


Bambang menambahkan, pihaknya melihat ada kesimpulan yang meloncat ketika didiskusikan hubungan antara korupsi dengan pilkada langsung atau tidak, dalam perspektif pemberantasan korupsi dan konsolidasi demokratik.


Lantaran, tidak dikaji peran dan karakter partai politik, sistem dan akuntabilitas di parlemen, perilaku dan partisipasi pemilih dalam pemilukada serta penyelenggaraan pemilukada. "Kesemuanya itu akan memengaruhi potensi, tingkat, dan jenis korupsi yang akan terjadi," ujar Bambang.


Dia berpendapat, secara umum, masalah yang ada di parlemen adalah masalah di hilir, karena masalah utama di hulunya adalah persoalan partai. Menurut Bambang, partai dan anggotanya dipastikan akan mempunyai karakter koruptif dan kolusif bila tidak bisa membangun sistem yang transparan dan akuntabel di dalam partai.


"Dengan kredibilitas seperti itu, partai justru akan menjadi kontributor potensi korupsi yang paling signifikan dalam sistem pemilukada tidak langsung yang di parlemen bila dibanding dengan pemilukada langsung," jelas Bambang. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya