Kontroversi Pembebasan Bersyarat Hartati Murdaya

Hartati Murdaya Saat Sidang Pledoi
Sumber :
  • Antara/Wahyu Putro

VIVAnews - Terpidana kasus penyuapan Siti Hartati Murdaya memperoleh pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hartati yang terbukti bersalah melakukan penyuapan terkait pengurusan lahan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, sebelumnya divonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. 

Mantan Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu dinilai majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyetujui pemberian uang sebesar Rp3 miliar untuk Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu. Terkait pengurusan Hak Guna Usaha lahan perkebunan sawit di Kabupaten Buol. Vonis Hartati lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi yang menuntut Hartati lima tahun penjara, membayar denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.

Kemenkumham menilai pembebasan bersyarat Hartati telah memenuhi persyaratan. Baik persyaratan administratif maupun substantif. Kepala Sub Direktorat Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Akbar Hadi, mengatakan pemberian pembebasan sudah sesuai prosedur.

"Sebagaimana ketentuan PP 99 tahun 2012," katanya, Senin 1 September 2014.

Menurut Hadi proses pemberian pembebasan bersyarat Hartati telah melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan. Mulai dari tingkat Rutan Pondok Bambu, tingkat wilayah di Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta serta tim tingkat pusat dari Ditjen PAS. Hartati menurut Hadi telah menjalani 2/3 masa hukuman sejak tanggal 23 Juli 2014.

"Selama menjalani pidana yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan remisi," ujarnya.

Respons KPK

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan KPK tidak memberikan rekomendasi terkait pembebasan Hartati. Johan mengatakan pemberian pembebasan bersyarat bagi seorang terpidana bukan merupakan kewenangan KPK.

"Tentu pemberian pembebasan bersyarat bagi HM (Hartati Murdaya) adalah kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia," katanya, Senin 1 September 2014.

Namun Johan menilai pemberian pembebasan tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. "Tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang sudah digaungkan Presiden SBY," ujarnya.

Dinilai Cacat Hukum

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, mengemukakan ada dua strategi yang dilakukan napi koruptor agar tidak perlu menjalani seluruh hukuman penjara sesuai dengan vonis hakim. Pertama melalui pemberian remisi, kedua lewat pembebasan bersyarat. 

"Jika remisi dan pembebasan bersyarat diperoleh, maka koruptor cukup menjalani setengah atau dua pertiga dari hukuman yang harusnya dijalankan," katanya, Senin 1 September 2014.

Emerson mengingatkan Hartati yang dinyatakan bersalah pada 4 Februari 2013 lalu dan dihukum 2 tahun 8 bulan penjara seharusnya baru bisa menghirup udara bebas pada akhir 2015 mendatang. Pemberian pembebasan bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menurut Emerson sangat mengecewakan sekaligus menjadi cermin buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.

"Sangat ironis dan kontradiktif dengan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Pada saat KPK berjuang memberantas korupsi dan menjebloskan koruptor ke penjara, justru yang terjadi Menkumham terkesan berjuang agar koruptor segera dibebaskan dari penjara," ujarnya.

Pembebasan bersyarat Hartati menurut Emerson juga cacat hukum. Karena tidak memenuhi syarat ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (atau lebih dikenal dengan PP 99/2012).

"Khususnya Pasal 43 A dan Pasal 43 B PP 99/ 2012," katanya.

Dalam Pasal 43 A Ayat 1 huruf a syarat bagi seorang koruptor untuk mendapatkan pembebasan bersyarat adalah narapidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau lebih dikenal sebagai Justice Collaborator.

Ekspansi Perusahaan Musik Terkemuka Asia Tenggara Diresmikan di Indonesia

Selanjutnya dalam Pasal 43 A Ayat 3 jelas menyebutkan “Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

"KPK sendiri sudah menyatakan bahwa Hartati bukanlah pelaku yang mau bekerja sama (Justice Collaborator). Dengan demikian syarat PB bersyarat untuk Hartati tidak terpenuhi," ujarnya.

Selain itu pada pasal 43 B  yang pada intinya menyebutkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan kepada Menteri Hukum dan HAM menurut Emerson wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/ atau Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.

KPK sebagai institusi yang menangani kasus korupsi yang melibatkan Hartati menurut Emerson sudah nyata-nyata menolak kapasitas Hartati sebagai Justice Collaborator. Selain itu KPK juga sudah menolak permintaan surat dari Dirjen Pemasyarakatan untuk meminta rekomendasi agar Hartati mendapatkan PB.

"Berdasarkan hal itu, maka kami meminta Menkumham membatalkan Surat Keputusan tentang pemberian pembebasan bersyarat untuk Hartati. Karena cacat hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat. Serta tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi yang diusung pemerintah," katanya.

Komitmen Menkumham Diragukan

Hartati ternyata bukan satu-satunya napi koruptor yang memperoleh pembebasan bersyarat. Dalam catatan ICW, sejak tahun 2011 ada 16 terpidana lain yang memperoleh pembebasan bersyarat.

Di antaranya adalah mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia yang juga mantan Kapolri Rusdihardjo, Mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan seharusnya Menkumham menerbitkan aturan pengetatan pemberian pembebasan bersyarat. Sebelumnya Menkumham menurut Abdul telah menerbitkan aturan pengetatan remisi terhadap napi yang terlibat kasus kejahatan luar biasa seperti narkoba, terorisme dan korupsi.

"Remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak setiap napi, yang perlu ditegaskan dalam upaya pemberantasan korupsi adalah memperketat pemberian keduanya terhadap terpidana kasus korupsi," katanya.

Abdul mengatakan Menkumham tidak menunjukkan keseriusan dalam pemberantasan korupsi. Jika yang diperketat hanya pemberian remisi, maka masih ada celah yang bisa digunakan oleh napi koruptor yaitu pembebasan bersyarat.

Penampilan Makin Sopan, Nikita Mirzani Ternyata Diawasi Rizky Irmansyah

Namun Abdul mengingatkan jika Menkumham menerbitkan Peraturan Pemerintah yang memperketat pemberian pembebasan bersyarat pasti akan menuai kecaman hingga gugatan.

"Tapi kecaman dan gugatan itu harus dihadapi sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Jangan hanya mencari aman dan merumuskan kebijakan pada tataran normatif saja. Kalau terus-menerus seperti ini, bagaimana kita bisa memenangkan perang melawan korupsi," ujarnya.

Sikap Hartati


Hartati melalui pengacaranya Patra M Zen ketika dihubungi VIVAnews mengatakan pembebasan bersyarat yang diberikan Menkumham sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Menurutnya pemberian pembebasan bersyarat diberikan setelah memenuhi syarat-syarat yang ketat.

"Kewenangan ada di Kemenkumham, tentu mereka memiliki alasan yang kuat," ujarnya.

Tim Penyelamat Evakuasi Korban di Gedung Konser Moskow (Doc: X)

Rusia Sebut AS Buru-buru Tuduh ISIS Atas Serangan Gedung Konser di Moskow

Amerika Serikat (AS) disebut toleh Rusia elah mengambil tindakan terburu-buru dengan menyalahkan kelompok teror ISIS, atas teror di Moskow.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024