Ini yang Dibutuhkan Para Penderita Ebola

Petugas medis memeriksa darah pasien ebola di Sierra Leone
Sumber :
  • REUTERS/Tommy Trenchard
VIVAlife
Orangtua Anak yang Tabrakkan Mobil di Mall Jadi Konsumen Chery
- Jumlah korban jiwa akibat virus ebola di Afrika sudah menembus angka 700. Paling parah, virus mematikan itu memukul negara kecil Sierra Leone di Afrika Barat.

Istri Kena Tuduhan Korupsi, PM Spanyol Bersiap Mengundurkan Diri

Presiden Sierra Leone, Ernest Bai Koroma, bahkan telah mengumumkan kondisi darurat. Kondisi pasien yang terinfeksi virus dengan gejala mirip flu dan demam berdarah, memburuk.
Nonton Langsung di Qatar, Fitri Carlina Menangis Saat Timnas Indonesia Menang Lawan Korea Selatan


Namun menurut Ane Bjoru Fjeldsaeter, psikolog dari Dokter Lintas Batas (MSF), saat ini Afrika bukan hanya butuh dukungan medis untuk menyembuhkan ebola. Perawatan psikis lebih penting.


Ia satu-satunya profesional kesehatan mental di Kailahun, salah satu kawasan di Sierra Leone. Fjeldsaeter  harus memberikan konseling untuk pasien, keluarga, hingga staf medis.


Ia melihat hal yang seragam dari mata mereka: kecemasan.


“Ketakutan tersebar luas. Ketika pertama menjumpai mereka, saya mengalami banyak penolakan. Itu respons psikologi umum saat menghadapi situasi mengerikan,” katanya, seperti dilansir
Time
.


Fjeldsaeter memahami ketakutan itu. Orang-orang yang hidup di lingkungan ebola, tidak mungkin menghindari dari kenyataan bahwa kondisi keluarga atau rekan mereka terus memburuk.


Mereka sadar, cepat atau lambat hal buruk itu akan menimpa mereka. Pasien yang sudah di lokasi isolasi, lebih parah lagi. Mereka seakan dinanti oleh malaikat maut di setiap waktu.


Tugas Fjeldsaeter untuk menangani kecemasan mereka. Sehari-hari, ia memotivasi pasien dengan jarak sekitar 1,5 meter, dibatasi “pagar” setinggi pinggang. Jika mereka terlalu sakit, ia yang datang.


“Saya memakai alat pelindung dan datang ke ruang isolasi,” ia bercerita. Fjeldsaeter mengaku, tidak sedikit pasien yang kemudian jadi amat religius. Bahkan, ia sering diminta berdoa bersama mereka.


Bukan hanya pasien, para pekerja medis pun butuh penanganan psikis olehnya. Menurutnya, lokasi penanganan ebola adalah tempat yang paling menguras emosi.


“Saya katakan pada setiap staf, tak ada yang terbuat dari batu. Siapapun pasti terpengaruh oleh keadaan ini. Ini tragedi nasional, dan tak masalah jika kita menangisinya,” ujarnya.


Dalam kelompok konselingnya, para pekerja medis berbagi pengalaman. Mereka mencurahkan isi hati soal keprihatinan, kekhawatiran akan kontaminasi, dan ketakutan melawan virus.


Menghadapi itu semua, Fjeldsaeter menegaskan seharusnya tak boleh takut. “Semakin takut, Anda semakin tidak hati-hati. Anda tak boleh membiarkan rasa takut melumpuhkan Anda,” ia menyarankan.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya