ANDI MALLARANGENG

Wakil Presiden: Hanya Pelengkap?

Andi Mallarangeng
Sumber :
  • Istimewa

Pengantar Redaksi:

Sejak berada dalam tahanan KPK, Andi Mallarangeng punya lebih banyak waktu luang. Sambil menunggu pengadilan, ia mencoba memanfaatkan waktunya secara produktif dengan membaca dan menulis. Aturan KPK tak membolehkan penggunaan laptop, iPad dan semacamnya oleh para tahanan. Andi menulis artikel ini dengan tulisan tangan, dan kemudian disalin kembali oleh Redaksi
VIVAnews agar bisa dinikmati oleh pembaca. Andi berusaha menulis di rubrik “Analisis” sekali seminggu.

One Way di Tol Trans Jawa Berakhir, Arus Kendaraan di Tol Kalikangkung Semarang Kembali Normal

-------------------

VIVAnews - Winston Churchill pernah berkata bahwa dalam dunia politik, jangka waktu dua minggu adalah bagaikan eternity: dalam politik yang cair, apapun bisa terjadi dalam waktu singkat. Don’t take anything for granted.

Pendaftaran capres dan cawapres untuk berlaga dalam Pilpres pada 9 Juli nanti akan segera dibuka kurang dari dua minggu ke depan, 18-20 Mei. Ada yang menebak bahwa mungkin akan muncul 4 pasang kandidat. Tetapi ada pula yang berspekulasi bahwa pada akhirnya hanya akan ada dua pasang kandidat yang mendaftar ke KPU.

Mana yang benar? Hari ini belum ada jawaban pasti. Pimpinan partai dan calon-calon kandidat masih mencari, merumuskan, memilih pasangan yang cocok. Ada pertemuan yang muncul di permukaan dengan liputan media yang luas.

Tetapi pasti ada pula perundingan di balik layar, tersembunyi dari radar wartawan. Politics is about movements in the shadows, demikian salah satu ungkapan yang ada dalam buku teks ilmu politik.

Sambil menunggu dan menebak-nebak, tidak ada salahnya kalau kita diskusikan terlebih dahulu apa sesungguhnya peran seorang wapres. Saya sudah beberapa kali menulis tentang peran dan asal-usul lembaga presiden di rubrik ini. Sekarang, tidak ada salahnya jika kita juga mengerti posisi dan peranan orang nomor 2 terpenting di Republik kita, Sang Pendamping, the Second Person in the line of power.    

Secara umum, posisi seorang wapres lebih banyak dianggap hanya sebagai aksesoris sistem presidensial. Bahkan, lebih jauh lagi, kalau kita simak apa yang ada dalam konsitusi kita, peran wapres hanya dipandang sebagai “ban serep” yang berfungsi jika presiden “mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya.”

Konstitusi kita tidak pernah merinci tugas dan fungsi wapres. Yang tercantum hanya kalimat seperti ini: “Dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.” Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang menjadi tugas wapres sehari-hari, atau bagaimana wapres harus menjalankan perannya dalam pemerintahan.

Walaupun secara formal wapres memang hanya dianggap sebagai pelengkap, namun dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari semuanya tergantung pada dinamika hubungan pribadi serta the level of trust antara presiden dan wapresnya, serta tergantung pula pada konteks sejarah.

Dalam sistem otoritarian, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, peran wapres memang lebih banyak menjadi pelengkap. Dalam dua tahap sejarah ini, panggung pemerintahan didominasi oleh seorang tokoh. Bung Karno dan Pak Harto hampir tidak memberikan ruang yang memadai bagi wapres mereka masing-masing untuk memainkan peran yang berarti.

Bung Karno, setelah Bung Hatta mengundurkan diri pada 1956, bahkan tidak merasa memerlukan wapres selama bertahun-tahun, praktis hingga akhir kekuasaannya yang tragis di tahun 1966-67. Pak Harto memiliki banyak wapres, dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, hingga Jendral Try Sutrisno dan Prof. Habibie.

Iran Serang Israel, Airlangga Serukan Parpol Bersatu karena Situasi Ketidakpastian Meningkat

Semua nama itu adalah tokoh-tokoh terhormat, namun dalam pemerintahan sehari-hari mereka hanya memainkan peran yang sangat terbatas. Prof. Habibie barangkali sedikit berbeda, sebab pada akhir era Orde Baru, Pak Harto memberinya ruang yang sedikit lebih leluasa.

Setelah era reformasi hampir dua dekade yang silam, aturan formal tentang peran dan fungsi wapres memang tidak mengalami perubahan. Tapi dalam prakteknya, muncul berbagai dinamika penting dan menarik, seiiring dengan berubahnya komposisi dan gelora politik dalam demokratisasi kita.

Reformasi mengubah susunan bintang di jagat politik kita, the realignment of the stars, dan karena itu pula perilaku serta hubungan antara our political stars juga mengalami perubahan.

Hal ini muncul pertama kali pada masa kepresidenan Gus Dur. Waktu itu, PDIP muncul sebagai juara atau pemenang besar Pemilu 1999, dengan perolehan suara 34 persen. Kemenangan ini adalah kemenangan yang fantastis, bagian dari eforia reformasi di mana PDIP dan Megawati Sukarnoputri dianggap sebagai simbol dan antitesis rezim yang sedang tumbang.

Arema FC Kalah 3 Kali Beruntun, Ini Kata Widodo Cahyono Putro

Karena itu, wajar saja jika Megawati yang saat itu menjadi wapres berada di posisi yang unik. Ia orang nomor 2, tetapi perolehan suara partainya jauh melampaui perolehan suara partai pendukung Presiden Gus Dur, yaitu PKB.

Karena keseimbangan yang jomplang ini, maka saat itu muncul wacana untuk memberikan peranan yang lebih vital dan lebih luas bagi wapres. Ada berbagai ide yang muncul, misalnya pemilahan praktis Kepala Negara (Gus Dur) dan Kepala Pemerintahan (Megawati), dan semacamnya. Tentu saja ide ini ditolak Presiden Gus Dur, dengan alasan bahwa ide tersebut inskonstitusional.

Jalan keluarnya adalah sebuah trik yang cantik: di bawah Megawati, lembaga kesekertariatan wapres diperkuat, dengan peran yang lebih dari biasanya. Lewat lembaga inilah, serta lewat peran Fraksi PDIP di parlemen, Megawati sebagai wapres memainkan peran yang penting dalam pemerintahan sehari-hari.

Setelah era Gus Dur-Megawati, serta Megawati-Hamzah Has, peran wapres yang unik lainnya terjadi pada duet SBY-JK pada periode 2004-2009. Boleh dikata, duet ini adalah pasangan paling dinamis yang ada dalam sejarah kita.

Presiden SBY memberi ruang yang cukup luas bagi Wapres JK dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, termasuk dalam pembuatan kebijakan. Kiprah JK dalam bidang ekonomi dan perdamaian di Aceh sangat menonjol.

Namun semua itu tetap berada dalam koridor yang ditentukan oleh Presiden SBY. Langkah dan inisiatif JK, walaupun kelihatan di permukaan sering diambil secara ad hoc dan independen, pada ujungnya tetap dilaporkan kepada SBY, dan jika disetujui, ditetapkan dengan keputusan presiden.

Kredit tertinggi untuk semua kebijakan pemerintahan tetaplah harus ditujukan kepada Sang Presiden, dengan catatan tambahan bagi peran dan jasa Sang Wapres.

Setelah duat SBY-JK, pada pemerintahan berikutnya duet SBY-Boediono sebenarnya juga berpeluang menjadi duet yang tidak kalah dinamisnya. Boediono adalah seorang profesor ekonomi, pemikir yang serius, serta pejabat pemerintahan dengan segudang pengalaman.

Beliau pernah menjadi pejabat tinggi Bappenas di Era Pak Harto,  Menteri Keuangan di Era Megawati, maupun Menko Ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia di zaman SBY-JK. Dengan karakternya yang “halus” serta dengan kredibilitasnya yang tinggi, Boediono mendapat ruang yang luas dari Presiden SBY untuk memberi kontribusi dalam pemerintahan sehari-hari, khususnya dalam masalah ekonomi dan pengawasan kinerja kabinet.

Memang, betapapun tingginya kemampuan dan kredibilitas Boediono, satu hal yang tidak dimilikinya: dukungan dan jaringan politik, terutama di parlemen. Tanpa dukungan dan jaringan semacam ini, langkah dan peranan Boediono nampak sangat sempit, dibatasi oleh tembok-tembok yang sulit untuk ditembusnya.

Menuju lembaga wapres yang kuat?

Jadi itulah kurang lebih cerita dan sejarah singkat wapres di negeri kita. Ke depan, menurut saya, peran wapres harus bisa diperkuat, dibuat lebih berfungsi secara substansial, tapi tetap dalam koridor sistem presidensial. Matahari pemerintahan harus tetap satu, yaitu Sang Presiden. Tetapi Sang Wapres dapat menjadi rembulan yang indah dalam jagat raya sistem pemerintahan Indonesia.

Beberapa contoh menarik dari Amerika Serikat yang juga menganut sistem presidensial seperti kita dapat menjadi pelajaran berharga. Dua wapres AS terakhir dianggap sebagai tokoh yang telah menjalankan perannya dengan efektif: bukan ban serep, tetapi juga tidak mengambil alih panggung tertinggi.

Dick Cheney mendampingi Presiden George W. Bush selama dua periode. Dengan pengalamannya sebagai politisi senior di Partai Republik, ia memainkan peran vital di bawah Bush dalam merumuskan kebijakan dan memimpin pemerintahan sehari-hari, khususnya di bidang pertahanan dan diplomasi internasional.

Ia dianggap sebagai pendamping yang hampir sempurna bagi seorang presiden yang memang tidak memiliki banyak pengalaman di bidang-bidang strategis tersebut, khususnya setelah peristiwa terorisme 9/11 yang menghentakkan publik AS waktu itu.

George W Bush dan Dick Cheney saat masih jadi Presiden dan Wapres AS

George W. Bush dan Dick Cheney saat masing-masing masih menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat beberapa tahun lampau. (REUTERS)

Setelah Dick Cheney, wapres berikutnya di bawah Presiden Obama adalah Joe Biden. Ia juga dianggap sebagai tokoh politik senior yang berasal dari Partai Demokrat.

Pengalamannya yang luas, serta karakternya yang lumayan keras dianggap melengkapi sosok Sang Presiden yang intelektual dan sangat kalem. Joe Biden diberi kewenangan yang luas dan mampu mengukir perannya dengan baik. Hal ini tampaknya diamini oleh publik AS, terbukti dengan terpilihnya kembali duet Obama-Biden untuk memimpin Gedung Putih di periode kedua, 2012-2016.

Singkatnya, Cheney dan Biden berhasil sebagai wapres tanpa menimbulkan ancaman atau tanpa mengambil porsi dari Sang Presiden. Mereka menjalankan perannya sebagai pembantu presiden yang loyal.

Bahkan dalam beberapa hal, mereka pasang badan, diverting the attack on them, sehingga Sang Presiden memiliki tembok pengaman politik yang handal dan terpercaya.

Kadang mereka menjadi pemain cadangan, kadang menjadi pemain bayangan tanpa bola, tetapi kadang pula mereka menjadi pemain penyerang, the attacking dog, yang mengigit atau mengejar lawan-lawan politik untuk mengamankan kebijakan pemerintahan. 

Karena itu, kedua wapres tersebut dianggap sebagai aset penting oleh presiden masing-masing dan diminta untuk mendampingi dalam dua masa jabatan. Hubungan mereka mulus, produktif, dan saling melengkapi, dan karena itu menjadi pelajaran berharga untuk merumuskan pola hubungan presiden-wapres yang ideal, baik di AS maupun di Indonesia.

Khususnya buat kita, pelajaran demikian harus kita simak baik-baik. Konstelasi baru politik Indonesia dan kebutuhan pemerintahan modern menghendaki munculnya peran wapres yang lebih dari sekadar ban serep.

Persoalannya adalah, apakah Sang Presiden terpilih nanti bersedia memberi ruang yang cukup luas bagi wapres dalam pemeirntahan sehari-hari? Demikian pula, apakah Sang Wapres mampu menempatkan dirinya, sanggup menjadi tokoh utama tanpa merebut panggung nomor satu, tanpa menjadi matahari kembar?

Apakah wapres sanggup menjaga loyalitas tegak lurus, sehingga oleh Sang Presiden dianggap sebagai aset, bukan ancaman?

Semuanya tergantung pada chemistry, kematangan pribadi, tingkat kepercayaan, serta lingkungan dan tim inti di sekitar presiden dan wapres.

Kita berharap bahwa tokoh-tokoh yang terpilih nanti adalah putra atau putri terbaik Indonesia. Semoga mereka akan sanggup bekerja sama, menjadi dwitunggal yang memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah.

8 Mei 2014

Andi Mallarangeng
adalah doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, DeKalb, Illinois, AS.


Baca Juga Kolom Andi Mallarangeng lainnya:
























Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya