Papua Kekurangan Polisi

Amiruddin Al Rahab
Sumber :
  • Dokumen Pribadi Amiruddin Al Rahab
Saat ini Kepolisian adalah wajah pemerintah di Papua. Persepsi masyarakat di Papua terhadap kinerja Polri akan menunjukkan persepsi masyarakat terhadap kinerja seluruh pemerintahan.
Kasus Pemalsuan Surat Lahan, Gubernur Kepri Sebut Bisa Diselesaikan dengan Musyawarah

 
Sidang PHPU, KPU Tepis Sirekap Jadi Bagian Kecurangan Pemilu

Kemajuan pembangunan di Papua dan Papua Barat sangat ditentukan oleh kemampuan Polri menegakkan hukum untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebab, hasil pembangunan bukan sebatas jalan dan jembatan serta gedung, melainkan juga rasa nyaman dan aman. Rasa nyaman yang terusik oleh satu aksi vigilante bersenjata saja, bisa membelokkan perpsepsi.
Intip Persiapan Telkomsel 'Mengukur Jalan' Jelang Lebaran

 
Saat ini,  ada dua provinsi di Pulau Papua dengan 42 kabupaten/ kota, dilayani oleh 1 kepolisian daerah, 29 kepolisian resor dan 2 kepolisian resor persiapan. Sembilan kabupaten lainnya hanya dilayani polisi setingkat kepolisian sektor (polsek). Bahkan di Kabupaten Nduga dan Membramo Tengah hanya ada pos polisi.

Jumlah distrik (kecamatan) se-Papua 589 sementara kepolisian sektor hanyaa ada 109 buah. Artinya, ada 480 distrik membutuhkan polsek. Saat ini, satu polsek melayani 5 distrik.  Meski pun jumlah personel Polri se-Papua 14.000 orang, itu belum mencukupi untuk memberikan pelayanan dan penegakan hukum di seluruh Papua.
 



Wilayah Papua begitu luas, hampir dua kali Sumatera, yaitu 890.000 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa. Sebagian besar terisolasi, hidup terpencil dan terpencar.

 

Papua adalah wilayah yang kerap dipersepsi sebagai area konflik dengan permasalahan hukumnya yang bertumpuk. Apa lagi,  banyak peristiwa kejahatan yang penanganannya secara hukum  tidak kunjung selesai. Atau ada peristiwa kejahatan, yang pelakunya tidak pernah bisa ditemukan. Kenyataan seperti itu, akan mudah mendatangkan sepkulasi negatif di tengah masyarakat.

 

Masyarakat yang terkurung oleh persepsi konfliktual dengan kepercayaan yang rendah kepada aparatur penegak hukum, maka masyarakat itu akan sulit merasakan kemajuan pembangunan. Agar hasil pembangunan bisa dirasakan oleh masyarakat, penegakan hukum harus bisa dilakukan secara cepat dan tepat. Penegakan hukum yang cepat dan tepat akan mampu meminimalisir potensi konflik, sekaligus akan mengurangi gosip politik.

 

Tahun 2011 Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 65  Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan  Papua dan Papua Barat (P4B). Pasal 7 (b) Perpres tersebut menetapkan kebijakan pendukung  P4B adalah “peningkatan stabilitas keamanan dan ketertiban terutama pada daerah rawan kejahatan dan berpotensi konflik antar kelompok masyarakat”. Pasal 7 (b) Perpres No.65 itu adalah perintah Presiden kepada Kapolri dalam rangka pelaksanaan P4B.

 

Papua selalu menjadi perhatian Presiden. Oleh karena itu Kapolri Jenderal Sutarman yang baru saja dilantik oleh Presiden, perlu memberikan perhatian lebih kepada wilayah yang menjadi perhatian Presiden ini.

 

Sesuai UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, pada pasal 48 dan pasal 49 ada beberapa kewajiban Polri yang khas Papua. Pertama, dalam hal kebijakan keamanan yang berkaitan dengan ketertiban dan ketentraman masyarakat, Kapolda harus berkoordinasi dengan Gubernur. Kedua, Polri mempertanggunjawabkan tugas-tugas tersebut kepada Gubernur. Tatacara menjalankan tugas tersebut serta pembiayaannya diatur dengan Perdasi. Ketiga, Polri perlu memperhatikan budaya dan adat istiadat serta kebijakan Gubernur. Keempat, dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan Polri perlu berkoordinasi dengan Gubenur.

 

Tantangan Polri (Polda) di Papua,  pertama, adanya aksi kriminal bersenjata. Aksi kriminal bersenjata oleh kelompok-kelompok vigilante, khususnya di areal perbatasan dengan PNG dan beberapa titik di daerah pegunungan tengah Papua, bahkan di tahun 2012 mulai masuk ke dalam kota Jayapura, Timika, Waropen dan Paniai. Hal itu  perlu mendapat perhatian serius Kapolri. Sebab, aksi-aksi vigilante ini telah terlalu banyak memakan korban jiwa, baik masyarakat mau pun aparat.

 

Kedua, maraknya demonstrasi di kota-kota sebagai buah dari demokrasi. Demonstrasi dengan segala macam isu terjadi di kota-kota Papua, khususnya Jayapura, Manokwari, Timika  dan Sorong. Demonstrasi-demonstrasi tersebut cepat menjadi peristiwa politik dan HAM yang menjadi perhatian media massa ketika penanganannya tidak tepat oleh kepolisian.  Penanganan demonstrasi yang keliru oleh Kepolisian di Papua, akan mudah berbelok menjadi isu melanggar hak kebebasan berekspresi.

 

Ketiga,  tingginya potensi konflik sosial akibat meningkatnya aktifitas politik seperti Pemilukada dan Pemilu. Aktivitas Parpol yang melibatkan massa sampai ke kampung-kampung telah mempolitisasi seluruh ruang kehidupan sosial di Papua. Perang-perang suku yang sudah lama luntur, kini bisa muncul kapan saja, dan biasanya mematikan dengan korban jiwa yang cukup banyak. Peristiwa Pemilukada berdarah di Kabupaten Puncak, bisa menjadi contoh.

 

Empat, maraknya korupsi. Aliran anggaran APBN dan APBD di Papua dan Papua Barat di 2013 lebih kurang Rp52 triliun setahun. Sementara itu beberapa Kabupaten baru belum memiliki infrastruktur pemerintahan yang rapi dan kuat. Ditengarai banyak kebocoran di sana-sini, mulai dari Provinsi sampai ke Distrik. BPK telah lama menemukan indikasinya. Isu korupsi yang mengila ini, membuat masyarakat engan percaya pemerintah. Bahkan korupsi itu juga terjadi di badan kepolisian sendiri. Kasus, Labora Sitorus adalah contoh nyatanya.

 

**


Permasalahan penegakan hukum di Papua begitu banyak dan sekaligus rumit. Sementara jumlah dan kemampuan personel serta sarana dan prasarana penunjang upaya penegakan hukum begitu terbatas. Sementara suhu politik selalu naik turun.

 

Meski pun demikian, Kapolri tidak memiliki jalan mundur di Papua. Kapolri baru harus melangkah maju dengan komitmen dan konsistensi yang kuat membantu Polda Papua dalam memperkuat penegakan hukum. Empat permasalahan menonjol di atas hanya bisa ditangani dengan meningkatkan kualitas dan jumlah personel, meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan, serta membersihkan aparatur kepolisian dari tindakan yang tidak patut. Selain itu Perdasi yang diamanatkan UU Otsus tentang tanggungjawab Polisi kepada Gubernur harus segera dibuat.

 

Sarana/ prasarana kepolisian di Papua harus ditambah dan dimoderenkan secara signifikan, mulai dari sarana transportasi udara, laut/ sungai dan darat, alat komunikasi yang cangih, serta peralatan dan persenjataan yang terbaru. Polda Papua semestinya memiliki helikopter, pesawat dan kapal untuk bergerak cepat. Polres-Polres baru harus didirikan di kabupaten baru. Sementara itu di setiap distrik  harus ada Polsek.


Lebih khusus lagi, Kapolri harus melatih satuan khusus untuk penanganan demonstrasi di perkotaan Papua agar tidak terjadi pelanggaran HAM atas hak kebebasan berekspresi.

 

Itu semua tentu mahal, karena dibutuhkan anggaran yang besar. Kapolda Papua Irjen Tito Karnavian pernah mengemukakan dibutuhkan sekitar Rp200 miliar untuk meningkatkan mutu pelayanan dan perluasan jangkauan pelayanan Polri di Papua. Kapolri harus bisa mendapatkan anggaran tersebut dari DPR demi memperkuat polisi di Papua. Dalam kondisi yang serba terbatas, Polri akan sulit untuk menegakkan hukum secara maksimal. Akibatnya hasil pembangunan akan selalu sulit dirasakan masyarakat, meski pun pembangunan itu telah menelan biaya ratusan triliun rupiah. []

 

*
Amiruddin Al-Rahab saat ini Asisten Ahli di Unit Percepatan Pembangunan Pronvinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya