KPR Inden Buat Ratusan Ribu Pekerja Sektor Properti Terancam PHK

Ilustrasi rumah FLPP.
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVAnews - Real Estate Indonesia memperkirakan bahwa penerapan kredit pemilikan rumah inden (belum jadi) untuk rumah kedua dan ketiga akan mematikan sektor properti secara berlahan-lahan. Sebab, KPR inden merupakan salah satu sumber pendanaan bagi pengembang karena tidak adanya kredit konstruksi.
Terungkap, Alasan Rizky Irmansyah Sukses Curi Perhatian Nikita Mirzani

Jika tetap dipaksakan, asosiasi perusahaan properti tertua di Indonesia itu memperkirakan ada sekitar 180 ribu tenaga kerja di sektor properti yang bisa kehilangan pekerjaan.
Top Trending: Suami Sandra Dewi Punya Saham Triliunan, Ramalan Jayabaya Soal Masa Depan Indonesia
 
Ketua Umum REI Setyo Maharso menegaskan, akibat penerapan aturan KPR inden, banyak pengembang menengah bawah yang sulit melakukan pembangunan rumah. Sebab, selama ini KPR inden menjadi sumber permodalan, menyusul sulitnya mendapatkan kredit konstruksi usai krisis moneter 1998.
Berpengalaman di DPR, Sumail Abdullah Dinilai Berpotensi Maju Pilkada Banyuwangi

Sedangkan bagi pengembang besar, kata dia, aturan ini juga akan menghentikan pasokan karena mayoritas bank memutuskan untuk tidak memproses dan melakukan akad kredit usai diterapkan aturan tersebut.
 
"Ini akan mematikan industri properti yang selama ini diakui menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional," ungkapnya, dalam keterangan tertulisnya kepada VIVAnews.
 
Setyo memperkiran, sekitar 60 persen dari total 3.000 perusahaan properti yang menjadi anggota REI akan berhenti memproduksi rumah kalau aturan KPR inden tetap diberlakukan. Jika setiap perusahaan memiliki 100 karyawan, dalam enam bulan ke depan pemutusan tenaga kerja (PHK) besar-besaran akan terjadi di industri properti. 
 
"Tentu kami tidak ingin ini terjadi, namun kalau pengembang berhenti membangun, dalam enam bulan diperkirakan 180 ribu orang akan kehilangan pekerjaan. Ini sangat ironism di tengah upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan yang besar buat masyarakat," tegasnya.
 
Di sisi lain, tambahnya, bagi konsumen, aturan KPR inden ini juga akan menghalangi hak-hak mereka mendapatkan akses perumahan sehingga backlog (kekurangan) perumahan akan bertambah besar.  

Untuk itu, kata Setyo, REI mendesak agar Bank Indonesia melonggarkan aturan kredit konstruksi atau menunda penerapan larangan pemberian KPR inden untuk rumah kedua dan seterusnya minimal enam bulan ke depan sambil menunggu kesiapan bank dan pengembang.
 
"Kalau diterapkan dadakan seperti ini, ibaratnya mobil sedang melaju kencang tapi tiba-tiba disuruh berhenti mendadak, tentu bahaya," ujarnya.

Sementara itu, Eddy Hussy, Sekretaris Jenderal REI mengatakan, sebenarnya REI mendukung apapun kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk memperbaiki ekonomi nasional, namun sebaiknya aturan-aturan itu dikomunikasikan kepada dunia usaha dan tidak diterapkan secara mendadak.
 
Menurutnya, untuk menjaga spekulan misalnya, Bank Indonesia bisa membuat aturan berdasarkan capital gain saja. Misalnya, pembeli rumah yang menjual kembali rumahnya dalam waktu satu tahun akan dikenakan pajak yang lebih tinggi, dan terus ke atas semakin rendah.

Apalagi, ungkap Eddy, kebanyakan spekulan biasanya membeli dalam bentuk tunai (cash), dan jarang membeli menggunakan KPR. 
 
Diakui Eddy, pertumbuhan KPR memang naik lebih tinggi dibanding sektor lain, namun dari sisi kredit macet dan bermasalah (NPL) sangat rendah yakni di bawah dua persen. Justru pertumbuhan sektor properti harusnya didukung, karena baik bagi Indonesia yang ingin mengatasi backlog.
 
Seperti diketahui, Bank Indonesia memperketat lagi aturan rasio kredit terhadap nilai agunan (loan to value/LTV) per , dan melarang perbankan menyalurkan KPR untuk rumah yang masih berstatus inden untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya.

Dengan alasan, untuk melindungi konsumen yang ingin mengambil kredit perumahan. Lengkapnya, buka .
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya