Tes Keperawanan, Bukti Diskriminasi Terhadap Perempuan

Ujian Nasional di SMAN 1 Cibinong
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin
VIVAnews
Mengenal Dickmorphia, Istilah Bagi Kaum Pria yang Khawatir dengan Ukuran Penis Kecil
- Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, H.M. Rasyid, mengeluarkan wacana tes keperawanan bagi calon siswa SMA sederajat. Menurutnya, kebijakan ini untuk menekan kasus prostitusi yang diduga melibatkan siswa di daerahnya.

2 Pria yang Buat Remaja Perempuan 16 Tahun Tewas di Hotel Jaksel Terancam 20 Tahun Bui

Rencana kebijakan ini mengundang protes dari berbagai kalangan. Wacana ini juga menunjukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan terus terjadi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh menyayangkan wacana tes keperawanan ini.
Netizen Korea Selatan Ingin Orang Ini Mundur Usai Kalah dari Indonesia U-23


Wacana tes keperawanan bagi calon siswa ini bukan yang pertama. Pada 2010, anggota DPRD Jambi sempat mengusulkan tes keperawanan bagi pelajar perempuan dan mahasiswi. Pada 2007, Bupati Indramayu juga melontarkan rencana tes keperawanan bagi pelajar perempuan karena marak peredaran film porno.


Rencana kebijakan ini mengandung sederet persoalan. Pertama, adanya diskriminasi terhadap anak perempuan yang dinyatakan tidak perawan yaitu mendapat stigma negatif dan potensi dilanggar haknya untuk melanjutkan pendidikan, yang melanggar Pasal 28B ayat (2). Padahal, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.


Kemudian lagi Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.


Kebijakan ini juga dianggap melanggar otonomi tubuh perempuan. Perempuan  memiliki hak kemerdekaan atas tubuhnya sendiri. Intervensi melalui tes keperawanan menjadi sebuah pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan.


Selain itu, tes keperawanan merupakan kebijakan yang lahir dari cara pandang diskriminatif terhadap perempuan oleh penyelenggara negara. Pada kasus prostitusi dan perdagangan perempuan (trafficking in persons, especially women and child), penyelenggara negara menempatkan akar masalah pada moral perempuan yang tidak terpuji.


Penyelenggara negara kemudian menghasilkan kebijakan yang diskriminatif seperti tes keperawanan. Dalam hal ini, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyalahi UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.


Bila dilakukan, kebijakan tes keperawanan tentu bertentangan dengan arah pendidikan untuk membangun kepribadian anak seutuhnya dan penghormatan atas nilai-nilai HAM.


Karena itu, memberlakukan tes keperawanan sebagai cara menekan kasus prostitusi dapat dilihat sebagai bentuk penghukuman terhadap anak yang diduga telah berhubungan seksual dan atau merupakan korban kekerasan seksual.

Pendidikan yang seharusnya terus menerus membangun kepribadian dan karakter anak, malah menjadi ajang menghancurkan masa depan anak.


Mencermati kondisi ini, Institut Perempuan menuntut agar Pemerintah menggunakan wewenangnya terkait pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah demi mendorong lahirnya kebijakan daerah terkait pemenuhan hak asasi perempuan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan serta mencegah dan membatalkan kebijakan yang diskriminatif.

   

"Pemerintah harus menggunakan wewenangnya terkait pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk membatalkan rencana kebijakan tes keperawanan maupun gagasan senada di tingkat daerah," kata Ketua Dewan Eksekutif Institut Perempuan, Rabu, 21 Agustus 2013.


Kemudian, Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Kota Prabumulih diminta untuk membatalkan rencana kebijakan tes keperawanan maupun gagasan senada di tingkat daerah.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya