Dugaan Kriminalisasi KPK, Ini Sikap Presiden SBY

Ketua KPK Abraham Samad, Presiden SBY, Kapolri Jenderal Timur Pradopo
Sumber :
  • Rumgapres/Abror Rizki

VIVAnews – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya bersikap atas sejumlah kasus yang merundung Komisi Pemberantasan Korupsi belakangan ini. Kasus-kasus itu dianggap sejumlah kalangan sebagai upaya melemahkan komisi itu. Sejumlah kasus itu antara lain: pengusutan korupsi di Korlantas, ditetapkannya Novel Baswedan sebagai tersangka, upaya merevisi Undang-undang KPK, dan penarikan sejumlah penyidik dari KPK.

Jokowi Launches Permanent Housing After Disaster in Central Sulawesi

Pernyataan sikap Presiden SBY disampaikan Senin malam, 8 Oktober 2012. Dalam konferensi pers di Istana Negara. Konferensi pers itu digelar setelah Senin siang presiden bertemu dengan Ketua KPK, Abraham Samad dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo.

Sejumlah menteri hadir dalam konferensi itu, antara lain Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Menteri Hukum dan HAM, Amir Sjamsuddin, Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan sejumlah pejabat tinggi lainnya. Diliputi media massa nasional dan disiarkan langsung sejumlah stasiun televisi. Dan inilah sikap presiden atas sejumlah kasus itu.

Gandeng IDH.ID, KoinWorks Sediakan Layanan Pay Later bagi UMKM dan Ritel

Kasus Djoko Susilo

Ini kasus dugaan korupsi di Korlantas. Proyek pengadaan alat simulasi Surat Ijin Mengemudi (SIM). Simulator itu untuk kendaraan roda dua dan roda empat. Proyek ini dimulai Oktober 2010. Nilai proyek Rp 198,6 miliar. Jumlah kerugian negara ditaksir sekitar Rp 90 miliar. Sejumlah petinggi kepolisian diduga menerima suap dari proyek ini. (

Jalan Salib Kolosal di Ruteng Ikut Dijaga Remaja Muslim, Ribuan Orang Menyaksikan

Para penyidik KPK kemudian menelusuri kasus ini. Mereka lalu menetapkan mantan Kepala Korlantas-- yang kemudian menjadi Gubernur Akpol--Djoko Susilo sebagai tersangka. Juga menetapkan tiga tersangka lain yakni Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo serta Direktur PT CMMA Budi Susanto, dan Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukotjo S Bambang.

Pengusutan kasus ini kemudian menjadi sulit sebab Didik, Budi, maupun Sukotjo juga menjadi tersangka di Kepolisian. Mereka juga disangka melakukan penyalahgunaan wewenang sehinngga menyebabkan kerugian negara. Surat perintah penyelidikan kasus ini terbit tanggal 27 Juli 2012.

Inilah yang kemudian menjadi soal. Satu kasus dua penyidikan. Dan itulah alasan yang digunakan Djoko Susilo meminta fatwa Mahkamah Agung dan mengabaikan panggilan pertama KPK. Para pengacaranya mengaku, Djoko ingin ketegasan. Kasus ini ditangani KPK atau polisi. MA kemudian menolak permintaan itu. Djoko lalu datang ke KPK pada panggilan kedua Jumat pekan lalu. Ikut memeriksa Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo adalah seorang polisi berpangkat Kompol. Novel Baswedan. ( )

Ini Sikap Presiden SBY

SBY menjelaskan bahwa persoalan siapa yang sesungguhnya berhak menangani kasus ini sudah dibahas sejak lama. Bahkan sudah pernah ada kesepakatan bahwa untuk kasus yang berkaitan dengan Irjen Djoko Susilo ditangani oleh KPK, dan sisanya ditangani oleh Polri. Namun hal tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.

SBY menambahkan bahwa dia sudah pernah bertemu dengan Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan Ketua KPK Abraham Samad saat buka puasa di Mabes Polri beberapa bulan lalu. Dalam pertemuan itu dibahas juga mengenai persoalan penanganan kasus simulator SIM.

"Saya sampaikan agar sesuai dengan UU dan MoU bisa lakukan kerjasama yang konstruktif agar penanganan kasus itu bisa dilaksanakan dengan efektif dan tuntas. Setelah pertemuan itu, saya pun bertemu dengan Kapolri bahwa sebaiknya dilakukan kerjasama dan sebaiknya saling bantu," kata SBY.

Namun, lanjut SBY, tampaknya koordinasi itu tidak berjalan dengan baik. "Oleh karena itu, solusinya adalah bahwa penanganan kasus yang melibatkan Irjen Djoko Susilo lebih tepat ditangani oleh KPK," tegas SBY. Dia menambahkan bahwa keputusan ini sudah sesuai dengan
Pasal 50 UU KPK. "Namun jika mengenai kasus lainnya, sebaiknya ditangani oleh Polri."

Kasus yang Menjerat Novel Baswedan

Novel adalah seorang polisi berpangkat Kompol yang ditugaskan kepolisian menjadi penyidik di KPK. Dia adalah seorang polisi yang cerdas, ulet dan berani. Menjadi penyidik utama dalam sejumlah kasus-kasus besar di komisi itu. Dari kasus Wisma Atlet yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin hingga kasus Simulator SIM yang melibatkan sejumlah petinggi kepolisian.

Jumat siang pekan lalu, 5 Oktober 2012, Novel ikut memeriksa Inspektur jenderal Djoko Susilo. Malam hari, tak berapa lama sesudah pemeriksaan itu, sejumlah polisi dari Polda Bengkulu dibantu polisi dari Polda Metro Jaya, datang hendak menangkap Novel. Dia diduga terlibat dalam penembakan terhadap pencuri sarang burung walet delapan tahun lalu di Bengkulu.

Meski penembakan sudah terjadi 8 tahun lalu, baru beberapa hari lalu, si korban penembakan itu mengadu ke polisi. Saat kasus ini terjadi, Novel menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu. Saat hendak mencari Novel itu, puluhan aktivis anti korupsi berunjuk rasa di KPK. Mereka memprotes rencana penangkapan itu dan menyebutnya sebagi upaya kriminalisasi KPK.(

Sejumlah kalangan menilai bahwa ada kejanggalan dalam kasus ini. Kejanggalan itu nampak dari surat pengeledahan hingga duduk soal kasusnya sendiri. Dalam siaran pers Sabtu dini hari-- sesudah kedatangan para polisi itu --Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, menegaskan bahwa surat penggeledahan yang dibawa Polda Bengkulu itu tanpa izin pengadilan. Nomor surat bahkan tidak ada. 

Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, belakangan menginformasikan bahwa hasil investigasi KPK menemukan laporan masyarakat terhadap Novel baru dibuat tanggal 1 Oktober 2012. Jadi cuma empat hari sebelum Polda Bengkulu bersiap menangkap Novel.

Upaya menangkap Novel itu kemudian berkembang menjadi protes yang luas. Puluhan ribu orang protesw di media sosial. Dari Facebook hingga Twitter. Minggu 7 Oktober sejumlah artis dan tokoh masyarakat menggelar konser SAVE KPK. Sejumlah masyarakat di berbagai daerah menggelar unjuk rasa dengan rupa-rupa cara. ( )

Ini Sikap Presiden SBY

Presiden SBY menilai bahwa tindakan Polda Bengkulu dan Polri terhadap Novel Baswedan tidak tepat. "Tidak tepat tindakan hukum terhadap Kompol Novel Baswedan atas peristiwa delapan tahun yang lalu, dilakukan saat ini. Timing dan pendekatannya juga tidak tepat,"kata Presiden SBY.

Presiden SBY juga menyoroti secara khusus tindakan Polda Bengkulu yang dibantu Polda Metro Jaya datang ke KPK, Jumat malam pekan lalu itu. "Itu sangat saya sesalkan," kata Presiden dengan suara meninggi.

Menurut SBY, banyak berita simpang siur mengenai penanganan kasus yang diduga melibatkan Kompol Novel Baswedan itu. "Sebenarnya jika KPK dan Polri pada saat itu bisa menjelaskan kejadian dengan benar dan jujur tanpa bias, tentu masalahnya tidak seperti yang diisyukan di masyarakat," ujarnya.

SBY menjelaskan, jika memang benar ada, kasus yang diduga melibatkan Novel haruslah diusut. Namun, pengusutan itu harus berangkat dari niat baik dan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. "Jangan ada motivasi lain. Misalnya, karena anggota Polri bersangkutan sedang melakukan tugas penyidikan kasus simulator SIM. Itu tidak boleh," kata SBY.( )

Penyidik Polri di KPK

Hampir semua penyidik KPK berasal dari kepolisian. Mereka ditugaskan di sana, untuk kemudian bisa ditarik lagi oleh kepolisian. Mantan Penasehat KPK, Abdullah Hehamahua, menyebut kedudukan para penyidik ini seperti bermain layang-layang. Ujungnya dilepas tapi ekornya dipegang kuat. Mereka memang bertugas di KPK, tapi karir mereka ditentukan kepolisian(

Kombes Novel Baswedan itu termasuk dalam "layang-layang" ini. Di tengah penyidikan sejumlah kasus, termasuk dugaan korupsi pengadaan Simulator SIM, polisi menarik sejumlah polisi termasuk Novel. Mereka kemudian menolak dan memilih menjadi pegawai tetap KPK. Sikap inilah yang kemudian dinilai sebagai pembangkangan.

Tindakan petinggi KPK melantik sejumlah penyidik itu juga dianggap tidak tepat oleh polisi. Sebab secara hukum dan etis mereka masih terikat dengan kepolisian.

Ini Sikap Presiden SBY

Presiden mengatakan bahwa KPK merasa penarikan penyidik membatasi tugas lembaga dan kerja penyidik yang sedang berjalan. "Atas dasar perbedaan itu Polri dan KPK melakukan tindakan sendiri yang saling bertentangan," kata SBY.

SBY menambahkan, bila ada keinginan alih status dari perwira polisi jadi penyidik KPK, itu ada ketentuannya. Ini juga berlaku untuk anggota Polri atau TNI untuk kasus lain. "Solusi yang perlu ditempuh, akan dikeluarkan aturan baru penugasan penyidik Polri di KPK selama 4 tahun, bukan maksimal 4 tahun sehingga tidak terlalu cepat diganti, dan dapat diperpanjang 4 tahun lagi sesuai kewenangan Kapolri," tambah SBY.

Namun, Presiden menambahkan, jika hal ini dianggap memutus pelaksaan penyidikan dan efektivitas tugas KPK, perwira diberi peluang mengundurkan diri atau alih status jika bersedia. "Tidak diperkenankan KPK melakukan penghentikan sepihak, karena ikatan dinas," kata dia. "Sebaliknya, Polri tidak bisa sepihak tanpa konsultasi bahkan persetujuan dari KPK menarik penyidiknya." (

Revisi Undang-undang KPK

Sejumlah Fraksi di DPR sedang melakukan revisi atas Undang-undang KPK. Sejumlah kalangan menolak upaya itu. Dianggap sebagai pintu masuk melemahkan KPK, sehingga tidak bergigi lagi memberantas korupsi di negeri ini. Itu sebabnya upaya merevisi Undang-undang KPK ini harus ditolak sekuat tenaga.

Dalam pidatonya Senin 8 Oktober 2012, Presiden SBY menegaskan bahwa sepanjang revisi itu bertujuan untuk memperkuat KPK dan tidak memperlemah, hal tersebut dapat dimungkinkan. "Tapi kurang tepat dilakukan saat ini, lebih baik saat ini meningkatkan sinergi," katanya.

Tanggapan KPK dan Polri Atas Pidato SBY

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengapresiasi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi sejumlah kasus yang merubung KPK itu. Bambang menegaskan bahwa dalam waktu dekat ini, KPK kembali berkordinasi dengan Kapolri Jenderal Timur Pradopo dalam menanggani kasus Simulator SIM dan Korlantas.

"Nanti ada kesempatan bertemu lagi dengan Mensesneg, Kapolri dan bukan tidak mungkin mengajak Jaksa Agung," kata Bambang dalam konferensi pers di Gedung KPK, Senin 8 Oktober, usai pidato Presiden SBY itu. Bambang menceritakan bahwa dalam pertemuan Senin siang, Presiden SBY sesungguhnya sudah menegaskan posisinya dalam kasus Korlantas. "Yaitu KPK menangani Djoko dan rekan-rekannya yang lain. "DS, BS, SB, DP, itu paket yang tidak bisa dipisahkan," kata Bambang.

Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo mengatakan pihaknya harus koordinasi dengan KPK terlebih dahulu untuk melaksanakan arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya, untuk menindaklanjutinya kepolisian tidak bisa sendiri.

"Arah presiden tadi harus ditindaklanjuti, untuk menindaklanjuti polisi tidak sendirian, harus kordinasi dengan KPK.Intinya arahan Bapak Presiden kami laksanakan, dan kami berkordinasi dengan KPK," kata Timur di Istana Negara, Senin 8 Oktober 2012.

Timur mengungkapkan, dalam penanganan kasus Korlantas, penyidik kepolisian sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan untuk penuntutan. Hal seperti itu perlu dikoordinasikan bagaimana pelimpahannya dari kepolisian ke KPK. "Itulah yang harus dikordinasikan. Bagaimana take over-nya," kata Timur

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya