Marzuki Darusman

“4 Juta Warga Korut di Ambang Kematian”

Marzuki Darusman
Sumber :
  • UN Photo/Paulo Filgueiras

VIVAnews—Semenanjung Korea agak “panas” Sabtu, 23 Juni 2012 lalu. Latihan gabungan militer Korea Selatan dan Amerika Serikat berlangsung di Pocheon, sekitar 32 sebelah tenggara Zona Demiliterisasi, yang memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan.

Thomas Cup dan Uber Cup Kobarkan Semangat Atlet Jelang Olimpiade 2024

Meski Perang Korea “de facto” berakhir pada 1953, status dua Korea itu sesungguhnya masih dalam keadaan perang. Latihan pekan lalu—terbesar sejak perang Korea selesai, diramaikan oleh 2.000 tentara, jet tempur, helikopter, dan tank. Kapal induk AS George Washington juga merapat ke sana.

Sasaran latihan jelas: bendera Korea Utara, yang tercabik-cabik dan musnah dihujani peluru latihan itu. Seperti diberitakan CNN, latihan bersama itu adalah persiapan jika Korea Utara menyerang Korea Selatan. Konflik dua Korea memang rawan meletup.

Bosan Pintu Cokelat? Coba 4 Warna Cerah Ini Biar Rumah Makin Aesthetic

Lalu, bagaimana sebetulnya situasi di Korea Utara, di tengah transisi politik setelah Kim Jong Il mangkat, serta ancaman tahunan bahaya kelaparan? VIVAnews mewawancarai Marzuki Darusman, bekas Jaksa Agung RI, yang kini ditunjuk Dewan HAM PBB sebagai pelapor khusus soal Korea Utara.

Marzuki, yang lama tak terdengar kiprahnya, bercerita banyak tentang situasi hak asasi manusia di Korea Utara. Sebagai bekas Jaksa Agung, dia juga menyinggung sejumlah kasus HAM di Indonesia, dan tudingan meningkatnya intoleransi di tanah air. Berikut petikan wawancara yang berlangsung dua pekan lalu:

Heboh Aksi Pedagang Buang Puluhan Ton Buah Pepaya, Ternyata Ini Penyebabnya

Sebagai pelapor khusus, Anda sempat berkunjung ke Korea Utara?
Sebenarnya, selama dalam fungsi ini saya belum berhasil  mengunjungi Korut. Sebab Korut tidak mengakui mandat ini karena dianggap sebagai bentuk tekanan dari PBB. Mandat pelapor khusus ini lahir 10 tahun lalu, dengan jabatan pertama dipegang oleh Thailand. Mandat ini juga menjadi hasil satu resolusi tentang keprihatinan Piagam HAM PBB tentang keadaan Korea yang sudah diramalkan semua pihak, termasuk Sekjen PBB dan masyarakat internasional.

Korut adalah negara satu-satunya peninggalan Stalinis yang ada di dunia. Rezim Korut adalah satu bentuk rezim yang berdasarkan kultus individu seperti Stalinis, yang kemudian dilanjutkan dengan suatu sistem represif yang hampir total sehingga hubungan ke Korut dibatasi.

Jika tak bisa ke Korut, apa yang Anda lakukan untuk mendapatkan informasi?
Saya ke Korea Selatan. Korsel, Jepang, dan Thailand berdasarkan pengelompokannya adalah negara yang paling beroleh dampak dari Korut karena pelarian-pelarian di sana berhubungan dengan tiga negara ini. Jadi setiap tahun ada pelarian yang meningkat. Info tentang Korut yang kami peroleh asalnya adalah penghimpunan info dari semua lembaga PBB yang masih boleh ada di sana, dari kedubes-kedubes yang punya masalah di sana, serta LSM-LSM yang beroperasi.

Dari para pelarian juga diperoleh tentang gambaran yang tersusun di Korut. Salah satunya bahwa Korut memiliki 8 atau 10 kamp konsentrasi tahanan politik yang menampung kurang lebih 200 ribu warga yang dianggap sebagai musuh rezim. Mereka ditahan tanpa pengadilan, bahkan keluarga mereka juga bisa ikut ditahan dan dieksekusi.

Apa yang dilakukan PBB untuk menekan Korut?
Tekanan ke Korut sekarang ini sudah berlangsung selama 10 tahun dan tidak ada kemajuan. Mereka mampu bertahan karena ditopang oleh Rusia dan China. Dalam keadaan sulit, Rusia sebelumnya memberi bantuan namun sekarang sudah mulai berkurang. Di sisi lain, China masih terus membantu Korut. Masalah itu sudah menjadi masalah politik, karena China tidak bisa melihat Korut tunduk karena apa yang terjadi adalah perpindahan besar-besaran dari Korut untuk pertama kalinya ke China dan Korsel, tapi terutama di China. Penduduk di sana kurang lebih sudah 24 juta, jadi mereka memikirkan kemungkinan Korut bertahan. Dengan rezim seperti itu, apa boleh buat.

Terakhir, China abstain terhadap resolusi. Resolusi mereka yang terakhir diambil Maret tahun ini, namun belum ada resolusi yang diterima secara bulat tanpa unsur politis.

Soal pelapor khusus HAM PBB, apa tugasnya?
Pelapor khusus sebenarnya terbagi dua tipe, yaitu pelapor khusus secara tematik dan secara negara. Jumlah seluruhnya saat ini kurang lebih ada 35 orang. Yang tematik menangani masalah-masalah seperti pangan, kebebasan atau penyiksaan. Kalau untuk pelapor khusus negara saat ini baru ada Korut, Myanmar, Iran, dan satu negara Afrika. Suriah saat ini belum ada, namun sebentar lagi akan dibentuk, bersama Srilanka juga.

Lahirnya pelapor khusus sebenarnya berakar dari resolusi yang didukung negara-negara anggota Dewan HAM PBB, termasuk Indonesia. Nantinya mereka akan ditugaskan melakukan kunjungan ke negara-negara tertentu dan harus melapor tentang keadaan negara-negara tersebut dua kali setahun, yaitu ke New York dan Jenewa.

Anda dipilih oleh Dewan HAM PBB untuk mengisi jabatan ini?
Benar. Lama jabatannya empat tahun, dan ini adalah tahun keempat saya. Jadi sebentar lagi masa tugas saya akan berakhir.

Apa usaha khusus untuk bisa menembus Korut?
Kami terus mengupayakan, namun Korut cukup sopan untuk berkali-kali menjawab, 'tidak bisa'. Namun saat melapor di Dewan HAM, mereka hadir. Jadi sebenarnya mereka secara tidak langsung mengakui laporan itu harus dipersoalkan. Oleh karenanya, saya rasa mereka seharusnya membiarkan kami kesempatan masuk daripada harus dibantah.

Setelah Kim Jong Il mangkat, Korut seperti mencari jalan baru agar bisa bertahan. Ada kemungkinan perubahan di sana?
Perubahan di Korut mungkin terjadi jika ada perubahan terhadap situasi kemanusiaan di sana. Namun, kurang lebih empat hingga enam juta warga Korut ada dalam batas ambang kematian akibat kelaparan massal karena semua dana digunakan untuk kepentingan militer sehingga pertanian alami kemunduran dan investasi ekonomi juga dialihkan untuk kepentingan militer.

Sebenarnya bulan Juli hingga September tahun ini rawan karena kita akan hadapi lagi kematian akibat kelaparan massal di kalangan rakyat Korut. Pendekatannya sekarang adalah mengupayakan agar Korut dinilai siap bergaul dengan kalangan internasional. Jika dipaksakan secara politik, terlalu beresiko karena taruhannya kemanusiaan dan mereka punya nuklir.

Anda juga aktif di Human Rights Resources Centre ASEAN?
Human Rights Resources Centre ASEAN adalah satu badan nonpemerintah baru yang didirikan dua tahun lalu. Badan ini terpisah dari Forum ASIA, dan badan ini mengkhususkan diri pada riset HAM yang selama ini agak tertinggal di Asia Tenggara. LSM-LSM umumnya lakukan riset yang bukan riset universitas, melainkan riset yang sifatnya action research. Akibatnya, pemajuan HAM mengalami hambatan karena selama ini hanya dilakukan dengan dua cara, yaitu advokasi dan dialog, namun tidak banyak hasilnya.

Saat ini sedang dicari satu jalan lagi untuk membawa pemerintah supaya bisa tukar pikiran dengan gelombang baru lewat riset, karena riset bisa buka pikiran negara tentang alternatif dan pendalaman masing-masing negara. Cara yang dilakukan LSM lebih banyak menekan dan mempermasalahkan atau menyoroti pelanggaran. Pemajuan HAM seharusnya tidak dilakukan di segi itu saja tapi juga dari bagaimana cara negara-negara patuhi norma, karena itu yang kurang.

Harus lebih digali lagi tentang apa yang menyebabkan suatu negara tidak lagi melakukan praktek penyiksaan, karena tidak bisa hanya tekanan LSM, pasti ada faktor lain. Sorotan media saja juga tidak cukup. Jadi pasti ada aspek yang bisa ditemukan tentang kenapa suatu negara berhenti melakukan praktek penyiksaan orang, penghilangan orang, atau intimidasi yang tidak bisa dijelaskan dari segi pelanggaran. Adanya HRC ASEAN ini, untuk mengisi kevakuman itu.

Ini soal isu HAM di Indonesia. Sebagai bekas Ketua Komnas HAM, bagaimana Anda melihat tudingan internasional atas meningkatnya intoleransi di Indonesia, dan isu kelompok minoritas merasa kurang dilindungi?
Saya rasa masalah yang sebenarnya kita hadapi adalah penegakan hukum. Untuk kasus Ahmadiyah dan GKI Yasmin bisa ditegakkan ke MA. Sementara masalah ketertiban kaum Syiah di Madura itu tidak ada hubungannya dengan hak asasi, melainkan sepenuhnya dengan penegakan hukum. Itu sudah menyangkut persoalan pertalian kekuasaan antara presiden dan kepolisian.

Fenomena ini tidak ada kaitannya dengan Indonesia yang semakin toleran atau tidak intoleran. Dinamika itu akan selalu ada, bahwa terjadi pasang surut dalam masyarakat. Ada kalanya manifestasi ketidaksukaan meningkat atau malah turun. Lihat saja acara-acara di televisi yang dihadiri aneka perempuan, sebagian kepalanya ditutup, sebagian lagi tidak, dan ini bukan isu etnis atau agama. Menurut saya, keunikan Indonesia mengalami tekanan sekarang. Pluralisme kita mengalami tekanan karena tidak dilindungi secara semestinya oleh hukum.

Apakah hubungan polisi dan presiden cukup berpengaruh dalam hal ini?
Sebenarnya harus ditelaah bagaimana posisi politik kepolisian dalam konstelasi kenegaraan ini. Nampak nyata bahwa kepolisian sudah menjadi suatu lingkungan yang berdiri sendiri sedemikian rupa sehingga penegakan hukum beralih menjadi sebuah opsi, bukan lagi sesuatu yg imperatif. Jika polisi menjelaskan 'Kita harus menimbang perasaan pihak-pihak yang protes' dan sebagainya, itu namanya bukan penegakan hukum. Mereka memilih. Gambaran itu memperlihatkan betapa ada problem politik dalam institusi polisi dalam konstelasi kenegaraan.

Di samping ada pembentukan FPI oleh tokoh-tokoh kepolisian pada zaman Pamswakarsa, fenomena ini masih berkelanjutan. Baru akan jelas apakah kita memang mulai krisis jika setelah penegakan hukum dilaksanakan masih ada masalah-masalah intoleransi. Menurut saya, secara sentral itu berhubungan dengan kemampuan politik polisi untuk penegakan hukum tanpa pertimbangan politis.

Anda juga pernah jadi Jaksa Agung dan pernah berurusan dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Apa hambatan penyelesaiannya?
Ada satu prakarsa yang di sana sini sering kita dengar bahwa Presiden akan melakukan tindakan besar untuk selesaikan masalah ini dengan tema kunci permaafan dan rekonsiliasi. Pemerintah mengatasnamakan negara lalu meminta maaf pada rakyat atas perilaku negarayang terlibat kekerasan di masa lalu.

Politik maaf semacam itu sekarang sudah mulai banyak dilakukan. Misalnya, permintaan maaf Ratu Juliana dari Belanda mengenai pengakuan kemerdekaan Indonesia. Indonesia merdeka tahun 1945, sementara mereka mengakuinya sebagai tahun 1949. Selama puluhan tahun Belanda berkeras ataas pengakuan itu sampai akhirnya keluar pengakuan berupa permintaan maaf yang dikeluarkan PM Belanda.

Ada pula pengakuan keterlibatan Inggris dalam kelaparan di Irlandia. Clinton juga minta maaf atas kelakuan AS terhadap kulit hitam. Dalam lingkup semacam itu, ada prakarsa mencoba dengan cara itu  kemudian mengakhirinya. Di Indonesia, ada resikonya jika menggunakan politik maaf. Kalau tidak ada konsensus yang mau menerima, begitu permintaan maaf diprotes, maka itu akan pudar sama sekali.

Jika sekarang Presiden minta maaf atas nama aparat dan tentara untuk kasus kekerasan tahun 1965 sampai di Timtim, apakah maaf itu akan diterima golongan militer? Sebab, mereka melakukan kekerasan dalam rangka memelihara kesatuan. Jadi sebenarnya agak rumit menggunakan politik maaf. Jika ditempuh lewat jalur pengadilan juga tidak bisa karena kasusnya sudah lama terjadi.

Ada kesepakatan untuk selesaikan masalah ini dengan memberi kompensasi untuk para survivor, atau penyintas. Masalahnya adalah bagaimana kita bisa mengidentifikasi para penyintas karena akan dibutuhkan badan untuk administrasi ganti rugi. Ini pekerjaan besar yang jika ingin, bisa dilakukan sebelum akhir rezim pada 2014. Namun perlu dibentuk badan administrasi kompensasi bagi para penyintas. Sekali lagi, ini pekerjaan kolosal. Para penyintas kekerasan tahun 65 sampai Orde Baru, semua harus dimasukkan.

Anda pernah mendokumentasikan semua itu?
Waktu itu yang menjadi fokus saya adalah pelanggaran HAM di Timtim, Tanjung Priok, Talangsari, serta aneka masalah yang kmudian secara politis sulit diterima kejaksaan karena euforia refomasi reda. Kejaksaan juga sulit terima perkara-perkara ini karena perlu persetujuan DPR. Untuk pengadilan ad hoc, yang diadili secara HAM berdasar UU Komnas HAM, yang disorot adalah pelanggaran yang sifatnya massal. Belum tentu perkara-perkara ini memenuhi syarat tersebut sehingga terjadilah dilema. Oleh karena itu ada RUU Komnas HAM baru yang mulai mengatur kembali definisi pelanggaran yang bisa dituntut secara hukum.

Masalahnya adalah dilema itu. Menerima wewenang dari Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan yang selanjutkan diserahkan kejaksaan untuk diadakan penyidikan, selalu terjadi debat tentang bukti. Kadang buktinya oleh Komnas dianggap cukup, namun ternyata kejaksaan menganggapnya belum cukup. Kalaupun dianggap sudah cukup, kejaksaan masih harus menghadapi masalah politik di DPR tentang perlunya peradilan dibentuk karena sistemnya ad hoc. Dinamika politik turut mempengaruhi hal ini.

Untuk menyelidiki unsur-unsur yang dulu dari militer, ada kemungkinan diprotes anggota parlemen yang terasosiasi dengan militer sehingga cukup sulit. Namun jadikan ini semua pelajaran. Diharapkan semuanya bisa diatasi dengan RUU baru. Sekarang Komnas berhak memanggil anggota militer, namun belum tentu mereka akan memenuhi panggilan atau bahkan mengindahkan panggilan itu.

Apakah mungkin jika para penyintas mengadu ke MK karena merasa hak konstitusinya dilanggar?
Yang diadukan ke MK adalah perkara UU yang jika bertentangan dengan konstusi maka bisa dibatalkan. Waktu itu ada satu kasus, yaitu wacana DPR membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ada satu segi dari wacana itu yang tidak disetujui LSM lalu diajukan ke MK sehingga pendirian komisi tersebut batal. Andaikan komisi tetap ada tanpa diajukan ke MK, apakah bisa menyelesaikan masalah?

Dengan pengakuan dibatalkan, maka tidak ada instrumen menyelesaikan persoalan HAM masa lalu, yang juga sedang dicari jalan keluarnya oleh pemerintah. Nampaknya jika dicari jalan keluarnya dengan Komisi Kebenaran sekalipun, jalannya sudah buntu.

Satu-satunya jalan yang terbuka adalah dengan menyatakan penyesalan. Namun resikonya jika tidak dikemukakan dalam suasana yang secara politik memuncak sehingga tidak ada penentangan adalah bagaimana mencari momen. Euforianya saat ini sedang menurun.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya