- Antara/ Widodo S Jusuf
VIVAnews - Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan pengakuan hak keperdataan anak dari luar perkawinan dengan ayah biologis membawa angin segar.
Permohonan uji material Undang-undang Perkawinan ini diajukan Machica Mochtar demi memperjuangkan nasib anaknya yang disebut sebagai putra dari mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono.
Kini MK meminta agar ada pengaturan khusus setelah keputusan itu. Wakil Ketua MK, Achmad Sodiki, menegaskan perlunya ada pengaturan khusus atas keputusan yang dikeluarkan oleh MK atas kasus Machica.
"Sebaiknya diaturlah. Bisa peraturan dari Kementerian Agama atau revisi UU [Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan]," kata Achmad usai mengisi seminar di Universitas Warmadewa, di Denpasar, Bali, Sabtu 3 Maret 2012.
Revisi itu, katanya, berkaitan dengan keberadaan pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang telah dianulir MK. "Sekarang tergantung DPR. Untuk mempercepat revisi, kan ada gerakan wanita, kemudian Komisi Perlindungan Anak, kan bisa mendesak hal itu," kata dia.
Berkaitan dengan keputusan itu, Achmad memberi peringatakan kepada para lelaki agar tak bermain-main lagi. Sementara itu, terkait kasus Machicha, Achmad memafhumi jika keluarga Moerdiono melakukan penolakan.
Tetapi, katanya, jika bisa dibuktikan melalui tes DNA bahwa Moerdiono adalah ayahnya, maka anak tersebut harus punya ayah. "Dia harus dapat warisan dari Moerdiono. Jangan enaknya saja. Orang mau enaknya saja setelah itu pulang. Yang berbuat dua orang yang tanggung jawab satu orang," kata Achmad.
Yang harus dilakukan sekarang, sambung Achmad, adalah memberikan hak bagi anak hasil perkawinan Machicha dan Moerdiono. "Kasus ini kan sudah masuk pengadilan agama dan ditolak karena Pak Moerdiono tidak mengakui. Satu-satunya caranya tes DNA. Pengadilan yang akan memerintahkan itu," katanya.
"Kami kan hanya mengatur hak-hak yang harus diajukan seorang anak. Kasihan, masyarakat mencemooh anak haram, sekolah juga sulit. Ini harus dilindungi. Oleh karena itu sesuai dengan Konvensi Anak yang sudah diratifikasi. Maka kita harus memberi putusan yang paling baik untuk anak itu," katanya.
Keputusan MK, kata dia, tak berarti melegalkan perzinaan. Jika seseorang ingin berzina, tuturnya, maka hal itu pasti terjadi. "Kita tidak ada urusan dengan melegalkan perzinaan. Yang kita urusi orang yang sudah ada itu. Dilarang pun kalau orang ingin berzina, ya berzinah. Ini kan perdata, tergantung mereka butuh itu atau tidak," kata Achmad.