Pakar Hukum: UU Penodaan Agama Multitafsir

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Maruara Siahaan.
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVAnews - Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy OS Hiariej, menilai Undang-undang Nomor 1/Pnps/1965 tidak memenuhi asas lex certa. UU yang akan diputuskan nasibnya di sidang Mahkamah Konstitusi hari ini harus direvisi.

“Undang-undang ini masih perlu direvisi terutama pada pasal 1 karena tidak memenuhi ketentuan “lex certa” di mana ketentuan hukum dalam pasal ini bersifat tidak tegas, kabur, dan menimbulkan multitafsir,” kata Eddy dalam diskusi publik “Tinjauan Kritis Atas UU No. 1 /PNPS/1965” di UGM, Senin 19 April 2010.

Namun, Eddy berpendapat keberadaan undang-undang ini tetap dibutuhkan untuk melindungi kehidupan beragama dalam upaya menjaga ketertiban umum. “Namun dalam pelaksanaannya perlu dilakukan secara hati-hati sehingga tidak mengarah pada tindakan pengadilan terhadap pemikiran, pendapat maupun keyakinan seseorang,” katanya seperti dirilis laman UGM.

Dr. Abdul Gaffar Karim, SIP, MA., Direktur Research Center for Politics and Government UGM, dalam diskusi yang sama mengatakan apabila undang-undang ini tetap dipertahankan oleh MK, maka dibutuhkan pengaturan yang lebih jelas agar tidak terjadi tindakan penodaan/ penistaan terhadap agama. “Dalam praktiknya, tidak terdapat pemisahan antara undang-undang ini dengan penodaannya. UU ini tidak mampu membedakan tindakan yang dapat dikriminalkan dengan sekedar perbedaan penafsiran,” ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, AAGN. Ari Dwipayana, SIP, M.Si, staf pengajar jurusan ilmu Pemerintahan Fisipol UGM menuturkan undang-undang penodaan agama ini layak untuk dicabut. Namun, lanjutnya dibutuhkan pengaturan lebih lanjut tentang definisi penistaan maupun penodaan agama.

“Nantinya dalam peraturan yang akan dibuatpun harus ada rincian yang lebih jelas tentang apa itu penodaan dan penistaan sehingga tidak mengundang ruang tafsir yang lebih luas,” ujar Ari.

Pada akhir tahun 2009, tujuh lembaga dan empat orang individu mengajukan uji materi atas UU ini karena undang-undang ini dinilai banyak menimbulkan masalah dalam relasi masyarakat beragama di Indonesia. Dan hari ini, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan nasib UU ini. (ary)

100 People Still Missing in Moscow Concert Hall Attack
OTT KPK Basarnas

Berlaku Progresif, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Bakal Libas 31 Pelaku Tindak Pidana

Pemerintah Indonesia dan Singapura mulai memberlakukan secara efektif perjanjian tentang ekstradisi buronan per tanggal 21 Maret 2024.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024