Taufik Ismail Baca Puisi di Sidang MK

VIVAnews - Taufik Ismail berpuisi dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi. Dia menggunakan metafora pagar untuk UU Penodaan Agama.

"Saya gunakan metafor pagar, agar dapat dipahami siapa saja," ujarnya di Mahkamah KOnstitusi, Rabu 24 Maret 2010.

Menurut Taufik, sepuluh tahun terakhir, kebebasan dinilai kebablasan dan masih euforia reformasi. "Saya luar biasa khawatir," katanya.

Taufik menuturkan, UU Penodaan Agama ibarat  pagar kayu dari tebing tinggi. "Mungkin sudah lapuk, diperbaiki, diganti dengan yang baru,  bukan dicabut," katanya.

Ketua Mahkamah, Mahfud MD menanggapi dengan berseloroh. "Kalau undang-undang diperbaiki untuk diganti, perlu dicabut dulu, pak," katanya diikuti senyum. Hadirin pun, tak kuasa menahan tawa melihat seloroh kocak mantan politisi PKB itu.

Berikut puisi Taufik Ismail:

"Desa kami terletak di kaki gunung yang sangat indahnya
Berpagar perbukitan dengan deretan pohon cemara
Sawah luas terhampar, hijau muda dalam warna
Ladang palawija sangat subur pula keadaannya
Dari jauh tampak ternak kerbau, sapi, ayam dan domba
Kemudian kawanan burung terbang di udara
Tampak menembus awan tanpa suara
Walaupun alam desa kami indah keadaannya
Tapi kami belum makmur sesuai dengan cita-cita
Kemisikinan tidak teratasi seperti semestinya
Berbagai penyakit datang dan pergi bergantian saja
Beri-beri, diaere, cacar, busung lapar, juga penyakit mata
Anehnya banyak warga sakit katarak dan radang glaukoma
Sehingga banyak yang rabun bahkan sampai buta
Sehingga dokter Puskesmas kami sibuk mengobati warga desa
Di barat desa ada sebuah tebing yang curam
Dibatasi setengah lingkaran oleh jurang yang dalam
Di atas tebing ini terhampar datrar lapangan lumayan luasnya
Di sana anak-anak kecil berkejar-kejaran dengan leluasa
Bermain-main, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tertawa-tawa
Karena penduduk desa cinta pada anak-anak mereka
Masih waras dan tak mau anak-anak celaka
Termasuk di tepi tebing dibikinkan pagar sudah lama
Terbuat dari kayu, sudah tua, terbatas kukuatannya
Agar tidak ada yang kepleset terjatuh ke jurang sana
Tebing itu lima puluh meter tingginya
Batu-batu besar bertabur di dasarnya
Semak dan belukar di tepi-tepinya
Hewan buas dan ular penghuni lembahnya
Kalau orang terjatuh ke dalamnya
Akan patah, cedera, cacat dan gegar otaknya
Nah, pada suatu hari
Ada sebagian kecil penduduk desa berdemonstrasi
Menuntut yang menurut mereka sesuatu yang asasi
Dengan nada yang melengking dan tinggi
Tangan teracung, terayun ke kanan dan ke kiri
Dalam paduan suara yang diusahakan harmoni
"Kami menolak pagar tebing itu, apa pun bentuknya
Pagar itu kan untuk anak-anak di bawah usia
Itu tak perlu untuk kami yang dewasa
Bahkan juga untuk anak-anak biarkan saja
Kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya
Tidak perduli alasan lama kalian dari zaman kuna
Pagar ini produk fikiran masa dahulu sudah lama
Cabut pagar itu, buang ke keranjang sampah saja
Pagar tebing itu adalah bentuk diskriminasi kuna
Kini waktunya orang menghargai kebebasan sebebas-bebasnya
Kita harus meniru negeri luar agar maju pula
"Apa itu pagar? Kenapa pelararan ini dibatas-batasi?
Tubuh kami ini hak kami
Kami menggunakannya semau hati sendiri
Apa itu pembatasan?
Konsep kuna, melawan kebebasan
Cabut itu pagar, semuanya robohkan!"
Demo berlangsung, hiruk-pikuklah terdengar suara
Heboh seantero kampung dan desa
Orang-orang bertanya, lho ini ada apa?
Kok jadi tegang suasana?
Ada yang bersikeras mau mencabut pagar semua
Tapi yang bertahan tidak sudi membiarkan mereka
Di tepi tebing beregang-reganganlah mereka
"Hei, hei, hati-hati, jangan sampai jatuh ke jurang sana!
Hati-hati, jangan sampai jatuh ke jurang sana!"
Mendadak mereka berhenti bersama
Ketika itu muncul seorang laki-laki dengan pengiringnya
Dia kelihatan tua dan agak berwibawa
"Para hadirin, ini Nabi kami."
Orang-orang desa terkejur, mulut mereka terkunci
Belum sempat pula seorang perempuan dengan ajudannya
Bergaun panjang, berhiasan macam-macam di kepalanya
"para hadirin, ini Malaikat kami."
Orang-orang desa terkejut, mulut mereka terkunci
Belum sempat mereka menatapnya dengan hati-hati
Muncul pula seorang perempuan dengan ajudannya
Bergaun panjang, berhiasan macam-macam di kepalanya
"Para hadirin, ini Malaikat kami."
Orang-orang desa terkejut, mulut mereka terkunci
Belum sempat mereka menatapnya dengan hati-hati
Muncul pula seorang laki-laki dengan pengawalnya
Dia kelihatan tua dan tidak berwibawa
"Para hadirin, ini Tuhan kami."
Dengan kedatangan tiga orang luar ini
Penduduk desa jadi sibuk mengamati
Kemudian ada warga yang menajukan interogasi
"Lho Pak Nabi, ente kan dari desa Gunung Bunder, tidak jauh dari sini?
Waa, Bu Malaikat rumahnya di Betawi kan dekat Gang Arimbi?
Pak Tuhan, antum dari kecamatan Mundu, nama Ahmad Tantowi?
Tidak ada jawaban sama sekali
Menyaksikan hadirnya yang mengaku Tuhan, Nabi dan Malaikat
Lalu seseorang berkata dengan cermat
"Kita bingung ini dan harus mendapat solusi
Mari kita hunungi orang yang ahli
Yang ahli itu pastilah orang luar negeri
Yang jago dalam teori dan kita kagumi
Dengan retorika penuh erudisi
Yang penting liberal, walau kolonial, kita tak peduli
Sehingga mata kita jadi silau sama sekali
Tunggu, tunggu, tak ada hubungan ini
Dengan mental orang bekas jajahan koloni
Tidak ada hubungan ini
Dengan warna kulit karena pigmentasi
Tidak ada hubungan ini
Dengan imperialisme ideologi
Tidak ada hubungan ini
Dengan sikap mental rasa rendah diri
Ini semata-mata, semata-mata, ulangi
Ya, semata-mata, ya karena ini."
Setelah selesai ucapan yang kacau begini
Hadirin yang tadinya tenang, menjadi ribut kembali
Kembali beregang-regang, tarik-tarikan ke sana ke sini
Tiba-tiba di ujung keributan ini
Muncullah dokter Puskesmas penuh wibawa
Bersama seorang anak muda di sampingnya
Dia melihat ke kanan dan ke kiri
Ketika itu  penduduk desa tenang semua.
Kemudian dia angkat bicara:
"Saya telah melihat demonstrasi kalian
Saya kecewa dan geleng-geleng kepala
Kalian semua pasien saya
Lebih dari separuh kalian kena kelainan pada mata
Kalau tidak rabun, ya buta
Kenapa kalian menghabiskan waktu berdemo juga
Padahal mata tidak bisa melihat dengan sempurna
Kasusnya katarak dan glaukoma
Gawat ini situasinya penyakit instrumen mata
Virus datang dari negeri lain rupanya
Bukan cuma dari luar desa
Begini, kita sembuhkan dulu sumber etiologinya
Gawat lho, ini situasi kesehatannya,"
Dengan hormat orang desa terdiam mendengarnya
Kemudian anak muda di samping dokter itu bicara
Dia santun, cerdas dan logis cara berfikirnya:
"Bapak-bapak, paman-paman, ibu-ibu semua
Saya minta nmaaf urun berkata-kata
Saya heran kenapa dipandang enteng tebing curam kita ini
Tingginya 50 meter, sangat tinggi
Di bawahnya batu-batu besar, dalam kali
Kalau terjatuh, bakal patah-patah, gegar otak kanan dan kiri
Jadi kalau tidak dipagar, berbahaya sekali
Maaf ya, maaf, kalian yang mau cabut pagar ini
Kalau tidak rabun atau buta, ya gila
Tebing betapa curam
Jurang betapa dalam
Kok tak tampak kedua-duanya
Konsep tebing dan jurang tak masuk akal rupanya
Gara-gara katarak dan glaukoma menuju buta
Nah, tentang pagar yang memang sudah tua keadaannya
Mari kita gotong-royong menggantinya
Kita bikin yang kukuh untuk semua
Sehingga anak-anak dan remaja
Bisa bermain-main, berlari-lari ke sini dan ke sana
Dengan aman dan gembira."
Kepala desa akhirnya muncul paling akhir lalu bicara:
"Sedulur, masih seabreg-abreg urusan di desa kita,
Kebodohan dan kemiskinan kita, kapan akan selesainya?"

Tak Melulu Konsumsi Pil Vitamin, Ini 5 Buah yang Mengandung Vitamin C Tinggi
Lolly, putri sulung Nikita Mirzani

Tegas! Nikita Mirzani Coret Nama Lolly dari KK, Hak Waris, dan Asuransi: Sudah Gak Peduli!

Lolly sendiri saat ini sudah pulang ke Indonesia setelah tinggal lama di London, Inggris. Nikita Mirzani tahu anaknya itu pulang berdasarkan informasi dari sosial media.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024